Suasana Rambu Solo di Suku Toraja (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Komika Pandji Pragiwaksono tengah menjadi sorotan publik setelah video lamanya kembali beredar dan memicu polemik. Dalam video berjudul ‘Uang VS Pendidikan’ di kanal YouTube, Pandji menyinggung ritual pemakaman adat Suku Toraja, Rambu Solo, sebagai bagian dari materi stand-up comedy.
Dalam potongan video tersebut, Pandji membahas soal mahalnya biaya upacara pemakaman Rambu Solo, bahkan menyebut banyak keluarga di Toraja yang memilih menyimpan jenazah di rumah sebelum mampu melaksanakan upacara adat tersebut. Materi komedi itu disambut tawa penonton, namun kemudian memicu kemarahan masyarakat Toraja yang menilai candaan itu sebagai bentuk pelecehan terhadap ritual suci dan penuh nilai spiritual.
Lantas apa sebenarnya Rambu Solo Prosesi Sakral Pengantar Arwah di Toraja?.
Rambu Solo merupakan upacara adat pemakaman Suku Toraja yang dilaksanakan secara turun-temurun. Bagi masyarakat Toraja, Rambu Solo bukan sekadar perayaan duka, tetapi penghormatan terakhir kepada seseorang yang telah meninggal dunia serta pengantar arwah menuju alam roh.
Secara etimologis, ‘Rambu Solo’ berarti sinar yang arahnya ke bawah, yang merujuk pada waktu pelaksanaannya saat matahari terbenam. Dalam kepercayaan Toraja, prosesi ini adalah bentuk penghormatan kepada leluhur yang berakar dari sistem kepercayaan Aluk Todolo, ajaran lama yang masih dipegang sebagian masyarakat hingga kini.
Menurut jurnal Tradisi Pemakaman Rambu Solo di Tana Toraja dalam Novel Puya ke Puya karya Mei Nurul Hidayah (UNESA), seseorang yang meninggal belum dianggap benar-benar wafat sebelum seluruh prosesi Rambu Solo terpenuhi. Selama itu, jenazah dianggap masih ‘sakit’ dan tetap diperlakukan seperti hidup, diberi makan, minum, dan ditempatkan di rumah hingga upacara siap digelar.
Pandji memang tidak keliru ketika menyinggung soal mahalnya biaya Rambu Solo. Upacara ini membutuhkan penyembelihan hewan kurban dalam jumlah besar, seperti kerbau dan babi, yang masing-masing memiliki makna simbolik tersendiri.
Ritual penyembelihan kerbau, yang disebut Ma’tinggoro Tedong, merupakan bagian utama dari upacara. Jenis kerbau yang digunakan pun menentukan status sosial keluarga almarhum. Kerbau belang (Tedong Bonga) yang berwarna hitam-putih dianggap paling sakral dan berharga tinggi, bahkan bisa mencapai 30 hingga 50 kali harga kerbau biasa.
Lebih lanjut, dikutip dari Jurnal Akuntansi Multiparadigma (JAMAL) Volume 6 Nomor 2, Malang (2015), penyembelihan ribuan ekor babi dan puluhan kerbau dalam Rambu Solo menjadi simbol persembahan kepada leluhur dan ikatan kekeluargaan. Hewan-hewan itu diberikan sebagai tanda belasungkawa (Pa’uaimata) atau sebagai balasan atas pemberian sebelumnya (Tangkean Suru’) antar keluarga.
Rambu Solo terdiri atas dua inti kegiatan, pertama prosesi pemakaman (Rante) dan pertunjukan kesenian. Keduanya berjalan harmonis dalam satu rangkaian ritual.
Upacara Rambu Solo bisa berlangsung tiga hingga tujuh hari, bahkan ada yang memakan waktu lebih lama tergantung strata sosial keluarga.
Upacara Dasili’ diperuntukkan bagi anak-anak atau masyarakat strata rendah.
Dipasangbongi, upacara untuk rakyat biasa, berlangsung satu malam.
Dibatang/Digoya Tedong untuk bangsawan menengah, melibatkan penyembelihan 8 kerbau dan 50 babi.
Rampasan, tingkatan tertinggi untuk bangsawan besar (Tana’ Bulaan), melibatkan 24 hingga 100 ekor kerbau.
Prosesi Rante dilaksanakan di lapangan tengah kompleks rumah adat Tongkonan, yang atapnya melengkung menyerupai tanduk kerbau. Di sanalah keluarga, masyarakat, dan tamu berkumpul menyaksikan tahapan demi tahapan yang penuh simbol dan doa.
Tahapan penting lainnya meliputi, Ma’tudan Mebalun, proses membungkus jenazah dengan kain kafan oleh To Mebalun atau To Ma’kaya. Juga Ma’Rato, yaitu menghias peti jenazah dengan benang emas dan perak sebagai lambang penghormatan terakhir.
Lebih dari sekadar tradisi, Rambu Solo merupakan puncak ekspresi religius dan sosial masyarakat Toraja. Ritual ini memperkuat nilai gotong royong, solidaritas keluarga besar, dan penghormatan terhadap leluhur.
Setiap sumbangan dalam bentuk hewan kurban atau bantuan logistik akan dicatat sebagai ‘utang adat’ yang harus dibalas pada upacara serupa di masa depan. Dengan demikian, Rambu Solo tidak hanya melibatkan aspek spiritual, tapi juga ekonomi dan relasi sosial antar keluarga Toraja.
Kasus Pandji Pragiwaksono menjadi pengingat penting bahwa tradisi bukan sekadar bahan cerita atau humor, melainkan warisan yang menyimpan makna mendalam bagi masyarakat adat.
Candaan tentang Rambu Solo, yang mungkin dimaksudkan ringan, justru membuka kembali diskusi publik tentang perlunya sensitivitas budaya di ruang hiburan. Di tengah era kebebasan berekspresi, penghormatan terhadap kearifan lokal dan ritual leluhur tetap menjadi batas yang patut dijaga


















































