Menguak Demokrasi Akar Rumput Makassar Lewat RT/RW

16 hours ago 4

KabarMakassar.com — Akademisi dan pengamat tata kelola publik, Asratillah, menilai demokrasi di Indonesia kerap dibicarakan dalam bahasa yang terlalu besar tentang pemilu, lembaga perwakilan, dan partai politik padahal denyut sesungguhnya justru terasa di ruang paling kecil seperti lorong, di meja rapat RT, atau dalam forum RW yang sederhana.

“Demokrasi itu tidak selalu bersuara keras seperti di parlemen. Ia hidup di lorong-lorong sempit, di meja rapat RT, di antara tumpukan berkas pengantar KTP, atau dalam musyawarah kecil memperbaiki selokan. Di titik inilah RT dan RW berdiri sederhana tapi vital, nyaris tak tampak tapi menentukan arah denyut sosial warga,” ujar Asratillah dalam tulisannya, Jumat (31/10).

Ia menjelaskan, Pemerintah Kota Makassar dalam beberapa tahun terakhir memang menaruh perhatian besar terhadap penguatan lembaga RT dan RW melalui dua regulasi penting, Perwali Nomor 82 Tahun 2022 dan Perwali Nomor 3 Tahun 2024. Kedua aturan itu mengatur ulang sistem insentif, mekanisme penilaian kinerja, serta format pemilihan RT/RW.

“Kita bisa melihat ada keseriusan pemerintah kota menata struktur ini. Tapi masih ada persoalan mendasar yang belum selesai antara fungsi administratif dan fungsi pemberdayaan, antara instruksi birokrasi dan partisipasi warga, antara kontrol dari atas dan inisiatif dari bawah,” jelasnya.

Tak hanya penguatan, Pemerintah Kota Makassar dibawa kepemimpinan Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin membentuk Peraturan terbaru mengenai RT/RW diatur melalui Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemilihan RT/RW di Kota Makassar.

“Ini akan menjadi contoh demokrasi akar rumput,” singkatnya.

Menurut data Dinas PM-PTSP tahun 2024, Makassar memiliki 4.446 RT dan 885 RW yang menghubungkan lebih dari 1,7 juta jiwa penduduk. Secara formal, mereka adalah perpanjangan tangan pemerintah, namun secara sosial mereka berfungsi sebagai garda terdepan yang langsung berhadapan dengan warga.

“RT dan RW itu bukan sekadar unit administratif,” kata Asratillah.

“Mereka menghadapi langsung problem harian masyarakat: dari sampah, keamanan, hingga konflik sosial kecil. Sayangnya, fungsi sosial ini mulai terkikis karena logika birokrasi yang terlalu menekankan efisiensi administrasi.” tambahnya.

Ia menyoroti gejala paradoks yang kini muncul. Di satu sisi fungsi pelayanan publik berjalan, namun di sisi lain fungsi pemberdayaan masyarakat justru melemah.

“RT sekarang lebih sering mengurus surat keterangan daripada memfasilitasi gotong royong. RW sibuk dengan data bantuan sosial ketimbang menjadi ruang deliberasi warga. Lembaga yang mestinya hidup dari partisipasi warga malah menjadi birokratis,” katanya.

Asratillah menambahkan, tantangan besar lainnya adalah keterbatasan kapasitas sumber daya manusia. Banyak pengurus RT/RW berusia di atas 50 tahun dan belum terbiasa dengan sistem digital.

“Ketika pemerintah memperkenalkan pelaporan berbasis QR Code, banyak yang bingung. Di sisi lain, insentif mereka bergantung pada kondisi fiskal kota. Tahun lalu saja ada keluhan keterlambatan karena PAD tak mencapai target. Ini membuat motivasi kerja jadi tidak stabil,” tuturnya.

Ia menilai, masalah yang lebih mendasar justru terletak pada relasi kuasa antara RT/RW dan aparat kelurahan.

“Secara hukum RT dan RW bukan ASN, tapi dalam praktik mereka diperlakukan seperti bawahan lurah. Hubungannya lebih bersifat komando daripada kolaborasi. Ketika ada RT yang kritis, kadang justru tidak disukai atau bahkan disingkirkan dari daftar penerima insentif. Padahal, demokrasi harusnya memberi ruang bagi suara kritis,” jelasnya.

Menurutnya, fenomena ini semakin kompleks karena pemilihan RT/RW kini mulai dipengaruhi kepentingan politik mikro.

“Ada mobilisasi dukungan dari tokoh-tokoh tertentu untuk menjaga pengaruh politik di tingkat kelurahan. Akibatnya, pemilihan yang seharusnya menjadi proses demokratis warga malah jadi miniatur kontestasi politik pragmatis,” kata Asratillah.

Namun, ia tetap melihat sisi optimisme yang tersisa di Makassar: modal sosial yang kuat.

“Tradisi gotong royong, solidaritas warga, dan kebiasaan musyawarah masih hidup di banyak kelurahan. Forum kerja bakti, ronda malam, atau arisan itu bukan sekadar kegiatan sosial, tapi praktik demokrasi dalam bentuk paling nyata. Sayangnya, kekuatan sosial ini belum sepenuhnya masuk dalam kerangka kebijakan pemerintah,” ujarnya.

Asratillah menegaskan bahwa inti dari persoalan RT/RW bukan hanya administrasi pemerintahan, melainkan cara kita menjalankan demokrasi di tingkat paling dasar.

“Persoalannya bukan cuma soal siapa yang dipilih atau berapa besar insentifnya, tapi bagaimana warga merasa memiliki ruang untuk berbicara, menentukan, dan terlibat. RT dan RW itu seharusnya menjadi front line demokratisasi di akar rumput,” ucapnya.

Ia kemudian mengutip pemikiran Alexis de Tocqueville yang menyebut bahwa demokrasi tumbuh bukan di gedung kekuasaan, tapi di ruang-ruang sosial tempat warga berinteraksi.

“Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang dikerjakan, bukan hanya dibicarakan. RT/RW di Makassar bisa menjadi miniatur dari demokrasi yang hidup dalam keseharian, bukan hanya dalam acara seremonial,” jelasnya.

Asratillah juga merujuk gagasan Harry C. Boyte tentang everyday politics, yaitu politik yang dikerjakan oleh warga dalam kehidupan sehari-hari bukan monopoli partai atau pejabat publik.

“Warga itu subjek demokrasi, bukan objek. Politik warga terjadi di forum RT ketika orang berdebat tentang kebersihan, keamanan, atau perbaikan selokan. Tapi agar politik semacam itu tumbuh, harus ada sistem kelembagaan yang mendukungnya,” katanya.

Ia lalu mengutip teori Chris Ansell dan Alison Gash (2007) mengenai collaborative governance, bahwa kolaborasi publik hanya bisa berjalan jika ada kepercayaan, kapasitas bersama, partisipasi yang bermakna, dan akuntabilitas dua arah.

“Kalau kita lihat di Makassar, keempat syarat itu belum sepenuhnya ada,” ujar Asratillah.

“Kepercayaannya rapuh, kapasitasnya terbatas, musyawarahnya formalitas, dan akuntabilitasnya satu arah.” sambungnya.

Ia menegaskan bahwa reformasi RT/RW tidak cukup hanya dengan menambah peraturan atau merapikan administrasi.

“Yang paling penting adalah menciptakan ekosistem sosial yang memungkinkan warga ikut mengambil keputusan. Pemerintah kota harus bertransformasi dari pembina menjadi fasilitator. Dari yang memerintah menjadi yang mendengar,” tegasnya.

Asratillah menilai Makassar sebenarnya memiliki modal budaya yang besar untuk melangkah ke arah itu.

“Budaya sipakatau saling menghargai, itu fondasi moral yang kuat. Modal sosial semacam ini bisa menjadi jantung bagi demokrasi warga, seperti yang dijelaskan Robert Putnam, bahwa pemerintahan lokal hanya bisa berhasil kalau kepercayaan sosialnya hidup,” ucapnya.

Namun, ia memberi peringatan bahwa modal sosial bisa melemah jika dikendalikan oleh logika administratif yang kaku.

“Begitu forum RT berubah jadi alat kontrol politik, kepercayaan sosial langsung menurun. Warga akan apatis. Dan ketika warga berhenti percaya, demokrasi berhenti hidup,” katanya.

Menurut Asratillah, inti dari demokrasi lokal yang sehat adalah agency warga, kemampuan mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui partisipasi nyata.

“RT/RW yang kuat, partisipatif, dan akuntabel adalah wujud dari democratic agency itu. Tapi agency tak akan tumbuh di tanah yang gersang. Ia butuh regulasi yang memerdekakan dan kepemimpinan yang mau mendengar,” ujarnya.

Asratillah mengingatkan bahwa demokrasi tidak tumbuh dari atas, melainkan dari bawah.

“RT/RW adalah ruang di mana negara belajar menjadi manusiawi, dan warga belajar menjadi warga negara. Demokrasi tidak lahir di aula besar atau podium parlemen, tapi di meja kecil rapat RT, di teras rumah yang ramai saat musyawarah, di tangan warga yang bergotong royong memperbaiki lampu jalan atau selokan,” tuturnya.

Ia menegaskan, jika pemerintah kota mampu menata kebijakan dengan prinsip kolaborasi, warga mau terus terlibat, dan pengurus RT/RW menjaga integritas sosialnya, maka demokrasi di Makassar tidak akan berhenti di bilik suara.

“Demokrasi akan hidup di setiap lorong, di setiap perbincangan warga, di setiap tindakan kecil yang membuat kota ini lebih adil dan manusiawi,” pungkas Asratillah.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news