KabarMakassar.com — Di antara benda-benda sederhana yang melekat pada kehidupan orang Bugis dan Makassar, peci hitam atau songko hitam menyimpan makna yang jauh melampaui fungsi lahiriahnya.
Tak hanya sebagai pelengkap salat dan simbol kehormatan, songko hitam diyakini memiliki kekuatan mistis khususnya untuk mengobati penyakit gatal yang dipercaya berasal dari gangguan roh halus.
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, gatal yang tidak sembuh-sembuh meski sudah diobati secara medis sering kali dianggap bukan penyakit biasa.
Mereka menyebutnya sumimikang atau sumingi, suatu kondisi di mana seseorang diyakini mengalami gangguan dari makhluk halus karena tanpa sengaja ‘menyenggol’ dunia gaib.
“Biasanya tidak sengaja bertemu dengan mahluk tak kasat mata disitu biasa sumimikang muncul,” tutur budayawan Sulawesi Selatan, Hasan Hasyim, Sabtu (11/10).
Dalam pandangan medis, gejala ini bisa dikaitkan dengan alergi kulit. Namun masyarakat Bugis-Makassar melihatnya secara berbeda. Gatal yang makin parah ketika digaruk dianggap pertanda bahwa tubuh sedang ‘disentuh’ oleh makhluk halus.
“Secara medis bisa saja dibilang alergi, tapi alergi ini tidak seperti biasa. Semakin digaruk, semakin melebar. Jadi orang bilang ini bukan sakit biasa, tapi sumimikang,” kata Hasan.
Untuk mengobatinya, masyarakat menyiapka menggunakan songko hitam sebagai pengganti. selain peci atau songko hitam, benda-benda yang dianggap memiliki daya penetral seperti badik yang pernah bersentuhan dengan dara dicelupkan kedalam air kemudian dioleskan ke bagian tubuh yang gatal.
“Kalau badik yang pernah membunuh (menyentuh darah) susah dicari, songko hitam paling gampang. Hampir semua rumah punya,” jelas Hasan.
“Songko hnya dibacakan salawat sebelum kemudian disapukan ke bagian yang gatal.” tambahnya.
Jejak Keislaman dari Masa Kerajaan Gowa
Kepercayaan ini tidak lahir tiba-tiba. Hasan menuturkan bahwa akar tradisi itu dapat ditelusuri hingga masa Sultan Alauddin, raja Gowa pertama yang memeluk Islam pada abad ke-17. Sejak masa itu, unsur-unsur Islam mulai melebur dalam ritual penyembuhan masyarakat setempat.
“Sejak Sultan Alauddin menjadikan Islam sebagai agama kerajaan, segala bentuk pengobatan diarahkan secara islami. Termasuk perjauhan pengobatan jarak jauh dan doa penyembuhan,” terang Hasan.
Dengan demikian, kepercayaan terhadap songko hitam bukan semata-mata tahayul, melainkan bentuk sinkretisme antara tradisi lokal dan ajaran Islam. Pembacaan salawat menjadi inti dari ritual penyembuhan, sementara songko hitam berfungsi sebagai media penghantar doa.
“Songko hitam itu wadah doa. Kalau dibacakan salawat, maka jadi perantara antara manusia dan perlindungan Allah,” ujarnya.
Kehormatan di Kepala, Doa di Tangan
Dalam budaya Makassar, kepala adalah bagian tubuh paling mulia. Menutup kepala dengan songko hitam adalah tanda kehormatan diri sekaligus penghargaan terhadap orang lain.
“Orang Makassar itu kalau keluar rumah tanpa songko, rasanya seperti belum lengkap. Songko itu simbol kehormatan,” kata Hasan.
Tradisi ini bahkan menyatu dengan tata krama sosial. Saat berjabat tangan, tangan kanan digunakan untuk menyalami, sementara tangan kiri tetap memegang songko di kepala simbol bahwa seseorang tetap menjaga kehormatan diri di hadapan orang lain.
Namun, ketika songko digunakan untuk mengobati sumimikang, maknanya berubah, Ia bukan lagi sekadar penutup kepala, tapi menjadi medium spiritual. Sebelum diusapkan, pembacaan salawat dilakukan dengan niat tulus. Bulu-bulu lembut kain songko diyakini dapat ‘menggosok’ penyakit hingga hilang.
“Dalam logika masyarakat, salawatlah yang menyembuhkan, tapi songko menjadi wadahnya. Karena itu, yang penting bukan kainnya, tapi keikhlasan dan doa yang menyertainya,” ungkap Hasan.
Songko Hitam Ritual yang Tak Punah
Meskipun zaman terus berubah dan masyarakat semakin rasional, tradisi ini tidak sepenuhnya hilang. Di kampung-kampung pesisir dan daerah pedalaman Sulawesi Selatan bahkan Kota seperti Makassar, praktik penyembuhan dengan songko hitam masih dilakukan, terutama oleh orang tua yang mewarisi ilmu leluhur.
“Sampai sekarang masih ada. Kalau ada orang gatal aneh, langsung dicari songko. Itu sudah jadi kebiasaan turun-temurun,” kata Hasan.
Bagi sebagian, mungkin praktik ini terdengar seperti mitos. Namun bagi masyarakat yang hidup dengan kepercayaan itu, sumimikang adalah kenyataan, bukan sekadar legenda. Mereka percaya bahwa doa, terutama salawat, adalah bentuk ikhtiar paling mulia untuk melawan penyakit yang datang dari dunia tak kasat mata.
“Kalau bisa sembuh pakai songko dan doa, kenapa mesti obat kimia? Obat bisa punya efek, tapi doa tidak dan Songko hitam tidak,” ujar Hasan.
Warisan Mistis yang Berakar pada Adab
Pada akhirnya, kepercayaan terhadap songko hitam mencerminkan filsafat hidup orang Bugis-Makassar, menghormati diri, menjaga hubungan spiritual dengan Tuhan, dan percaya pada kekuatan doa dalam setiap aspek kehidupan.
Songko hitam adalah simbol kesederhanaan yang menyimpan sejarah panjang dari istana kerajaan Gowa hingga rumah-rumah kayu di pesisir. Ia adalah saksi bagaimana keislaman dan kearifan lokal bersatu, menghadirkan harmoni antara logika, mistik, dan iman.
Bagi sebagian orang, mungkin itu hanya sepotong kain hitam. Tapi bagi orang Bugis-Makassar, songko adalah doa yang dikenakan di kepala dan kadang, penawar bagi gatal yang tak bisa dijelaskan dengan sains.
“Tapi itu kenyataan, sudah banyak orang yang sembuh (metode Songko hitam), dan itu bukan sekali dua kali tapi sudah sering di masyarakat Bugis-Makassar lakukan,” Pungkasnya.