Mengupas Sejarah Tari Pakarena, Jejak Perempuan Gowa dalam Lembutnya Gerak Tradisi

1 month ago 19

KabarMakassar.com — Tari Pakarena adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Telah lama dikenal masyarakat Indonesia, khususnya oleh warga Sulawesi Selatan, tarian ini menjadi bagian dari warisan budaya yang masih terus dilestarikan hingga kini.

Umumnya, Tari Pakarena dibawakan oleh lima hingga tujuh penari perempuan. Para penari tampil anggun dengan mengenakan pakaian adat khas serta membawa kipas sebagai properti utama tarian.

Gerakannya yang lembut serta anggun menggambarkan nilai kesopanan dan kelembutan dalam budaya masyarakat Gowa.

Di era modern, Tari Pakarena sering ditampilkan dalam berbagai acara sebagai bentuk hiburan juga pertunjukan seni budaya.

Akan tetapi, nilai historis dari tarian ini tetap penting untuk diketahui, sebab Tari Pakarena menjadi peninggalan dari Kerajaan Gowa yang pernah berjaya di masa lampau.

Melansir WonderVerse Indonesia, Tari Pakarena mulai berkembang secara signifikan ketika masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, yang merupakan Raja Gowa ke-16.

Pada masa itu, tarian ini dibina serta dilestarikan secara langsung oleh lingkungan keluarga kerajaan sebagai bagian dari kekayaan budaya kerajaan.

Salah satu tokoh penting yang berjasa dalam pengembangan Tari Pakarena ialah I Limatakontu, ibu dari Sultan Hasanuddin.

Ia turut berperan untuk membina dan mempromosikan tarian ini hingga diteruskan oleh Permaisuri I Mallombassi Daeng Mattawang dari Ipetta Nisali.

Pada awal kemunculannya, Tari Pakarena ini sebenarnya berfungsi sebagai bagian dari upacara ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Suku Makassar.

Tarian ini mempunyai nilai spiritual yang mendalam dan menjadi simbol komunikasi dengan leluhur atau kekuatan ilahi.

Sebelum dikenal dengan nama Pakarena, tarian ini disebut sebagai Sere Jaga, yang memilik arti berjaga sepanjang malam atau tidak tidur semalaman.

Nama ini menggambarkan makna kesadaran serta kewaspadaan dalam menjalani kehidupan.

Namun, seiring berjalannya waktu, istilah Sere Jaga dianggap terlalu sakral untuk diucapkan sembarangan, tanpa memperhatikan waktu juga tempat.

Oleh sebab itu, nama tersebut kemudian diubah menjadi Pakarena agar lebih mudah digunakan dalam konteks umum.

Kata Pakarena berasal dari dua suku kata, yaitu pa yang berarti sang atau si, dan karena yang artinya bermain. Sehingga secara keseluruhan, Pakarena bisa diartikan sebagai sang pemain atau orang yang memainkan suatu peran atau gerakan.

Berdasarkan cerita turun-temurun, Tari Pakarena bermula dari kisah perpisahan antara penghuni Limo (Bumi) dengan Botong Langit, atau yang dikenal sebagai negeri khayangan.

Sebelum mereka berpisah, masyarakat Botong Langit telah mengajarkan berbagai ilmu bertahan hidup kepada penghuni bumi, seperti bercocok tanam, beternak, dan berburu.

Ilmu tersebut kemudian disampaikan melalui gerakan tangan dan kaki yang kemudian berkembang menjadi gerakan tarian sebagai bentuk ungkapan syukur dan ekspresi spiritual.

Diketahui, Tari Pakarena pernah dijadikan sebagai tarian resmi di Istana Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-16 di abad ke-16.

Tarian tersebut mengandung makna yang sangat mendalam dan merupakan bagian penting dari tradisi kerajaan.

Gerakan-gerakan Tari Pakarena yang halus serta lembut mencerminkan sifat-sifat ideal perempuan Gowa, mulai dari kesopanan, ketaatan, kesetiaan, serta rasa hormat terutama kepada lelaki, khususnya suami.

Selain gerakan, pola lantai dalam Tari Pakarena turut menyiratkan pesan filosofis, bahwa manusia harus senantiasa teguh, berdiri dengan tegak, serta tidak mudah menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Setiap gerakan yang ada di dalam Tari Pakarena membawa suatu makna simbolis yang beragam.

Pada awal tarian, gerakannya menggambarkan karakter manusia yang bersifat kontemplatif, tenang, juga teduh.

Pada bagian kedua, tarian ini menceritakan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, yang diselaraskan bersama ritme kehidupan yang berjalan secara alami dan berkesinambungan.

Gerakan tari yang lebih kompleks serta sulit melambangkan berbagai persoalan dan kesulitan yang kerap muncul dalam perjalanan hidup manusia, menunjukkan perjuangan dan tantangan yang harus dihadapi.

Selain itu, ada pula gerakan berputar yang mengikuti arah jarum jam, yang mengandung makna siklus kehidupan manusia yang terus berulang dan berkembang.

Bagian akhir tarian juga diiringi dengan musik yang lembut serta mendayu-dayu, yang mencerminkan sifat perempuan Gowa yang penuh kelembutan, sopan santun, serta rasa hormat dalam setiap aspek kehidupannya.

Sebagai informasi, sejumlah properti yang digunakan dalam Tari Pakarena mencakup, baju bodo, sarung, selendang serta kipas.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news