Mental Load: Beban Emosional Tak Terlihat yang Perlu Diwaspadai

2 hours ago 2

KabarMakassar.com — Istilah emotional labor mungkin belum terlalu familiar di telinga banyak orang, akan tetapi sebenarnya sangat dekat dengan keseharian kita.

Dilansir dari School of Parenting, konsep tersebut pertama kali dikenalkan oleh Arlie Hochschild pada tahun 1983. Ia menjelaskan emotional labor sebagai usaha seseorang dalam mengatur serta menampilkan emosi tertentu pada pekerjaan, demi kenyamanan orang lain, biasanya pelanggan atau juga klien.

Beberapa contohnya, seperti seorang barista yang tetap tersenyum dan menyapa ceria pelanggan, walau baru saja mengalami masalah pribadi. Atau kasir yang tetap ramah walau hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Mereka semua dituntut untuk memakai topeng emosi yang sesuai, agar suasana tetap terasa positif bagi orang lain.

Tak hanya itu, pekerjaan seperti pramugari juga penuh dengan tuntutan emotional labor. Meski menghadapi penumpang yang rewel atau dalam situasi tegang selama penerbangan, mereka tetap harus tersenyum, sopan, juga tenang.

Hal yang sama terjadi pada guru, yang harus bersikap sabar serta empatik saat menghadapi orang tua murid yang penuh keluhan, walau mungkin sedang merasa lelah atau stres.

Menariknya, dalam banyak kasus, emotional labor acap kali melekat pada perempuan. Di masyarakat, masih banyak anggapan jika perempuan secara alami lebih penyayang, lebih sabar, serta lebih bisa memahami perasaan orang lain.

Akibatnya, mereka lebih sering diminta atau diharapkan agar menjadi penampung emosi orang lain. Karena sudah dianggap sebagai ahli dalam urusan emosi, maka perempuan pun sering kali harus mengesampingkan perasaannya sendiri.

Mereka dituntut agar tetap hadir, peduli, dan suportif, bahkan ketika sedang berada di titik lelah atau tertekan. Lama-lama, hal tersebut dapat menjadi beban yang sangat berat secara mental.

Inilah yang dikenal sebagai mental load atau beban mental tak terlihat yang kerap dirasakan perempuan, terkhususnya dalam peran sebagai ibu, istri, atau pekerja di sektor pelayanan.

Mental load bukan hanya soal fisik, namun juga tanggung jawab emosional yang terus-menerus dipikul. Sayangnya, karena sifatnya yang tak kasat mata, maka mental load kerap kali tidak disadari oleh orang-orang di sekitar.

Padahal, dampaknya nyata mulai dari kelelahan emosional, stres berkepanjangan, sampai dengan burnout.

Sejumlah efek mental load yang dapat dialami diantaranya adalah:

1. Kurang tidur

Kurang tidur sering menjadi konsekuensi dari peran sebagai ibu atau orang tua yang harus memenuhi berbagai tuntutan melebihi kapasitas mental serta fisik.

Tanggung jawab yang terus menerus, mulai dari pekerjaan rumah tangga sampai dengan mengurus anak, acap kali membuat waktu istirahat menjadi hal yang dikorbankan.

Di sisi lain, banyak ibu turut dibebani oleh perasaan bersalah, baik itu karena merasa tidak cukup hadir, kurang sabar, hingga merasa tidak sempurna dalam menjalankan peran mereka.

Perasaan tersebut memperbesar beban emosional atau mental load yang mereka tanggung, sehingga semakin sulit untuk mereka agar benar-benar beristirahat, baik secara fisik maupun psikologis.

2. Cemas dan depresi

Beban pekerjaan rumah yang banyak hingga tekanan dalam menjalani peran sebagai orang tua berpotensi menyebabkan mental load yang berat, yang pada akhirnya mampu memicu stres dan kecemasan.

Berdasarkan profesor psikologi kesehatan Nicole Avena di Princeton University kondisi tersebut menjadi semakin serius saat seseorang harus bekerja keras tidak hanya di kantor, tetapi juga terus berjuang memenuhi tuntutan di rumah.

3. Sakit kepala

Apabila sering mengalami sakit kepala selama menjalani peran sebagai ibu atau ayah maka kondisi tersebut mungkin terkait dengan beban mental atau mental load yang kamu tanggung sehari-hari.

Secara fisiologis, tubuh tidak dapat membedakan antara ancaman fisik nyata dengan stres psikologis yang timbul dari tekanan hidup sehari-hari karena beban emosional dan tanggung jawab.

Jika stres tersebut berlangsung terus-menerus tanpa penanganan yang tepat, maka sistem saraf pusat akan terpengaruh secara negatif. Akibatnya, tubuh dapat menunjukkan gejala fisik, salah satunya ialah sakit kepala yang berulang, sebagai bentuk respons terhadap tekanan mental yang dialami.

4. Penyalahgunaan zat

Dalam beberapa situasi, tekanan emosional serta stres yang berkaitan dengan mental load mampu memicu seseorang untuk menggunakan zat-zat seperti alkohol, obat-obatan terlarang, atau melakukan penyalahgunaan zat lainnya sebagai cara dalam mengatasi beban tersebut.

Penggunaan zat ini acap kali menjadi mekanisme koping yang berisiko.
Apabila kondisi tersebut dibiarkan berlanjut tanpa penanganan, dampaknya tidak hanya mengancam kesehatan mental, namun juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan fisik yang serius.

Oleh sebab itu, penting untuk mengenali tanda-tanda stres akibat mental load dan mencari dukungan yang tepat guna mencegah risiko yang lebih besar.

Dengan mengenali serta membicarakan soal emotional labor dan mental load menjadi langkah awal agar dapat lebih adil dalam membagi peran, baik di rumah maupun di tempat kerja.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news