Menteri ATR/BPN Beberkan Kejanggalan dalam Kasus Sengketa Tanah JK vs Lippo

1 week ago 19

KabarMakassar.com — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan adanya sejumlah kejanggalan dalam kasus sengketa tanah antara PT Hadji Kalla dan entitas Lippo, PT GMTD Tbk.

Nusron menegaskan bahwa sengketa lahan tersebut bukan persoalan baru, melainkan masalah warisan lama yang akarnya sudah muncul sejak dekade 1990-an.

Melalui penelusuran resmi Kementerian ATR/BPN, diketahui bahwa bidang tanah yang dipersoalkan ternyata memiliki dua dasar hak berbeda, yakni Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla dan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang tercatat atas nama PT GMTD.

PT Hadji Kalla memegang Sertifikat Hak Guna Bangunan yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kota Makassar pada 8 Juli 1996, dengan masa berlaku hingga 24 September 2036.

Situasi semakin memanas setelah PT GMTD melakukan eksekusi atas perintah Pengadilan Negeri (PN) Makassar di atas lahan yang diklaim sebagai milik PT Hadji Kalla.

Nusron mengatakan bahwa pihaknya telah bersurat kepada Pengadilan Negeri Makassar untuk meminta penjelasan terkait dasar pelaksanaan eksekusi itu.

Mengingat, di atas lokasi tersebut masih terdapat dua perkara aktif, yakni sengketa antara PT Hadji Kalla melawan Mulyono (perorangan) serta sengketa antara PT Hadji Kalla dan PT GMTD.

NUsron berujar bahwa pihaknya sudah menerima surat balasan dari Pengadilan Negeri (PN) Makassar, namun isi surat tersebut justru memunculkan pertanyaan baru.

Pada surat balasan itu, PN Makassar menyatakan bahwa objek yang dieksekusi bukan tanah milik JK serta tidak dilakukan konstatering.

Namun pernyataan tersebut dinilai janggal karena data BPN menunjukkan adanya kepemilikan Hak Guna Bangunan (HGB) PT Hadji Kalla pada Nomor Identifikasi Bidang (NIB) yang sama.

“Isinya suratnya ini, menyatakan bahwa tanah Pak JK tidak dieksekusi dan tidak dikonstatering. Bahasanya begitu kurang lebih,” kata Nusron, belum lama ini.

Nusron pun mempertanyakan tanah siapa yang dieksekusi apabila lokasi yang digunakan berada dalam NIB yang sama dengan bidang milik JK berdasarkan catatan BPN.

“Tapi yang menjadi pertanyaan, terus yang dieksekusi kemarin tanahnya siapa? Karena dalam catatan kami, di lokasi NIB tersebut memang ada tanahnya Pak JK di catatan kami. Tapi di pengadilan mengatakan tidak tanah Pak JK. Ini saya belum paham maknanya apa,” ucapnya.

Kementerian ATR/BPN berencana mengirimkan surat balasan kembali ke PN Makassar untuk memperjelas peta bidang dan data NIB terkait. Langkah ini dinilai penting agar kejanggalan tersebut dapat diklarifikasi secara resmi.

“Karena itu kami akan memerintahkan Kepala Kantor untuk kirim surat lagi kepada pengadilan negeri untuk menunjukkan tentang peta-peta sama NIB yang ada. Saya kira begitu,” jelasnya.

Nusron menjelaskan bahwa meski pengadilan menyebut objek tersebut bukan tanah milik JK, eksekusi justru dilakukan di lokasi yang sama. Menurutnya, situasi ini memperkuat dugaan adanya ketidaksesuaian proses administrasi maupun teknis di lapangan.

“Jadi kalau jawabannya ini kan begitu. Mengatakan dia tidak termasuk tanah Hak Guna Bangunan punya Hadji Kalla. Tidak dieksekusi dan tidak dikonstatering,” tuturnya.

Nusron menegaskan bahwa eksekusi digelar di titik yang sama dengan NIB milik JK, sehingga ketidakcocokan penjelasan tersebut menjadi persoalan baru yang harus diselesaikan.

“Tapi yang di sana melakukan eksekusi di lokasi yang sama. Nah ini masalahnya, di NIB yang sama,” tegasnya.

Lebih jauh, Nusron menguraikan tiga fakta utama yang dianggap janggal dalam proses eksekusi tersebut. Ketiga fakta ini sekaligus menjadi dasar bagi pihaknya untuk meminta klarifikasi lebih lanjut kepada PN Makassar.

Pertama, eksekusi dilakukan tanpa adanya proses konstatering yang seharusnya menjadi tahapan wajib sebelum eksekusi.

Dia menyebut bahwa undangan konstatering dari pengadilan sempat diterima tetapi kemudian dibatalkan, sebelum akhirnya tiba-tiba muncul penetapan konstatering dan eksekusi.

“Lepas dari itu, memang ada yang janggal di proses eksekusi tersebut. Janggalnya, belum pernah ada konstatering. Berkali-kali saya sampaikan, kami menerima surat tanggal 17 Oktober, diundang untuk konstatering tanggal 23 Oktober,” katanya.

“Pada hari yang sama, pas hari tanggal 23, kami menerima surat pembatalan konstatering. Tiba-tiba tanggal 3 November, ada eksekusi penetapan konstatering. Nah kita tidak ngerti kapan konstateringnya,” lanjut Nusron.

Undangan konstatering yang batal lalu munculnya penetapan baru tanpa pemberitahuan menambah daftar tanda tanya dalam proses eksekusi tersebut. Nusron menilai prosedur ini tidak transparan dan tidak sesuai mekanisme.

Fakta kedua, BPN saat ini sedang menghadapi gugatan Tata Usaha Negara (TUN) terkait sertifikat GMTD di lokasi yang sama. Hal ini memperkuat bahwa terdapat sengketa aktif yang seharusnya menjadi pertimbangan sebelum eksekusi dilakukan.

Fakta ketiga, di atas bidang tanah tersebut juga terdapat sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT Hadji Kalla. Dua sertifikat yang overlap ini lalu bertemu dengan eksekusi tanpa konstatering, sehingga memunculkan problem hukum berlapis.

“Kan ada 3 fakta ini. Fakta pertama, di atas tanah tersebut ada eksekusi pengadilan, tapi eksekusinya tanpa konstatering. Ini fakta pertama. Fakta kedua, BPN sedang digugat TUN oleh Saudara Mulyono atas terbitnya sertifikat GMTD. Fakta ketiga, di atas bidang tersebut juga ada sertifikat HGB atas nama PT Hadji Kala. Jadi 3 fakta ini,” beber Nusron.

Hingga kini, PN Makassar disebut baru memberikan jawaban atas salah satu poin, yaitu klaim bahwa tanah JK bukan bagian dari objek eksekusi.

Nusron menegaskan bahwa perbedaan data antara pengadilan dan BPN tidak dapat dianggap selesai begitu saja tanpa penjelasan detail.

“Ini yang kami surat, baru dijawab 1 oleh pengadilan bahwa tanah yang dieksekusi bukan tanahnya Pak JK. Nah terus tanah siapa? Wong bidangnya sama. Mau kita lanjutin pertanyaan seperti itu nanti,” pungkasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news