Para Pemohon Pengujian UU No17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memeriksa perkara pengujian materiil terkait mekanisme pemberhentian anggota DPR (recall) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang MD3.
Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh lima warga negara melalui sidang perbaikan permohonan digelar pada Senin (17/11).
Para pemohon menyampaikan bahwa jumlah penggugat bertambah dari empat menjadi lima orang untuk memperkuat legal standing terutama pada aspek kerugian aktual dan spesifik.
“Terdapat penambahan Pemohon yang semula empat orang menjadi lima Pemohon, rasionalnya adalah untuk memperkuat legal standing terutama di bagian kerugian aktual dan spesifik,” ujar Ikhsan Fatkhul Azis selaku Pemohon I dalam sidang yang digelar secara daring.
Perbaikan ini, pemohon juga mengubah objek permohonan dari Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3 menjadi Pasal 239 ayat (2) huruf d. Mereka menilai norma tersebut memberikan kewenangan penuh kepada partai politik untuk memberhentikan anggota DPR, tanpa melibatkan konstituen yang memilih wakilnya melalui pemilu.
Para pemohon berpendapat bahwa kondisi tersebut menimbulkan kerugian konstitusional, karena rakyat hanya diberi ruang menentukan wakil saat pemilu, namun tidak dilibatkan ketika anggota DPR kehilangan legitimasi di daerah pemilihannya.
“Permohonan a quo tidak berangkat dari kebencian terhadap DPR atau partai politik, melainkan bentuk kepedulian untuk berbenah. Para Pemohon tidak menginginkan ada lagi korban jiwa akibat kebuntuan kontrol terhadap DPR,” tegas Ikhsan.
Petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai bahwa pemberhentian anggota DPR dapat diusulkan oleh partai politik dan/atau konstituen di daerah pemilihan.
Pemohon juga menyoroti tidak adanya mekanisme recall oleh pemilih yang menyebabkan peran rakyat tereduksi hanya pada proses pemilu. Mereka menilai hal ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Akibatnya, hak-hak konstitusional warga negara untuk berpartisipasi dalam pengawasan pemerintahan menjadi terhambat.
Dalam argumentasinya, para pemohon turut mengangkat sejumlah praktik recall yang mereka nilai tidak selaras dengan amanat UU. Kasus yang menimpa Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach (NasDem), Uya Kuya dan Eko Patrio (PAN), serta Adies Kadir (Golkar) dijadikan contoh bagaimana partai politik melakukan pemberhentian sementara tanpa mekanisme yang jelas, meski ada desakan publik agar proses berjalan sesuai aturan.
Mereka menilai praktik tersebut justru menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat karena tidak diatur dalam UU MD3 dan tidak melibatkan konstituen sebagai pihak yang memiliki legitimasi awal.
Panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo, didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, menerima penyampaian perbaikan permohonan tersebut. Suhartoyo menegaskan bahwa permohonan akan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk menentukan apakah perkara ini dapat langsung diputus atau perlu dilanjutkan ke sidang pembuktian dalam sidang pleno.


















































