MK Tolak Gugatan PAW DPR, Otoritas Parpol Dinilai Konstitusional

2 days ago 7
MK Tolak Gugatan PAW DPR, Otoritas Parpol Dinilai KonstitusionalIlustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (Dok: Ist).

KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materi Nomor 199/PUU-XXIII/2025 terkait Pasal 239 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3).

Putusan yang dibacakan pada Kamis (27/11) itu menegaskan kembali bahwa mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) oleh partai politik (parpol) adalah konstitusional sebagai bagian dari penegakan otoritas dan integritas parpol dalam sistem demokrasi perwakilan.

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyatakan Mahkamah tidak menemukan alasan hukum untuk menyimpang dari pendirian sebelumnya, terutama merujuk pada Putusan MK Nomor 38/PUU-VIII/2010. Menurutnya, parpol tetap menjadi pilar utama demokrasi modern dan memiliki peran strategis dalam mengajukan kandidat legislatif yang membawa visi dan platform partai.

“Pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 mutatis mutandis berlaku juga sebagai pertimbangan hukum putusan a quo. Adanya mekanisme PAW merupakan bagian dari upaya menjaga keseimbangan hubungan partai politik, calon legislatif, dan konstituen,” kata Guntur dalam sidang pleno.

Mengacu pada Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, Mahkamah menegaskan bahwa peserta pemilu anggota legislatif adalah parpol. Karena itu, hanya kader yang masuk dalam daftar calon tetap (DCT) parpol yang dapat dipilih sebagai wakil rakyat. Dengan demikian, keberadaan PAW yang diusulkan parpol merupakan konsekuensi logis dari sistem perwakilan berbasis partai yang dianut Indonesia.

MK juga menyatakan tidak ada persoalan konstitusionalitas terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf d dan g UU MD3, termasuk penjelasannya yang dinyatakan cukup jelas. Anggota parpol yang mengalami PAW dan merasa dirugikan tetap memiliki hak mencari keadilan melalui jalur hukum lain.

Para Pemohon, yang mayoritas merupakan pelajar/mahasiswa, meminta agar pemilih di daerah pemilihan (dapil) diberi kesempatan melakukan pemilihan ulang jika anggota DPR diusulkan berhenti oleh parpol. Namun MK menilai tuntutan tersebut tidak sejalan dengan prinsip demokrasi perwakilan dan mustahil diwujudkan secara teknis.

“Proses pemungutan suara dalam pemilu bersifat tertutup sehingga tidak dapat diketahui siapa memilih siapa. Usulan pemilu ulang sama saja dengan menyelenggarakan pemilu baru di dapil tersebut,” tegas Mahkamah.

Mahkamah menegaskan mekanisme recall atau pemberhentian anggota DPR atau DPRD oleh parpol merupakan konsekuensi dari sistem pemilu berbasis partai. Namun demikian, MK menekankan bahwa recall tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menjadi pengawas agar proses tersebut tidak melanggar hukum dan etika.

Menjawab kekhawatiran Pemohon soal dominasi parpol, MK menyatakan bahwa rakyat tetap memiliki ruang untuk menyampaikan keberatan kepada parpol jika wakilnya dinilai tidak layak. Selain itu, pemilih dapat menggunakan hak politiknya pada pemilu berikutnya.

“Pemilih seharusnya tidak memilih kembali anggota DPR atau DPRD yang dianggap bermasalah,” ujar Mahkamah.

Para Pemohon berargumentasi bahwa ketentuan PAW dalam UU MD3 telah mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat karena pemberhentian anggota DPR sepenuhnya ditentukan parpol. Mereka menilai absennya mekanisme recall oleh konstituen membuat posisi pemilih lemah setelah pemilu.

Namun MK berpendapat bahwa dalam kerangka demokrasi perwakilan, peran pemilih sudah terwakili melalui pemilu. Sementara pemberhentian anggota DPR merupakan bagian dari hubungan internal parpol dan wakil yang diusulkannya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news