Pemohon Doris Manggalang Raja Sagala (kiri) mengikuti sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan dalam Perkara Nomor 185/PUU-XXIII/2025 yang menguji Pasal 7 ayat (2) huruf t Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Putusan itu dibacakan dalam sidang pleno pengucapan putusan di Gedung MK, Kamis (13/11).
Permohonan tersebut diajukan oleh empat warga negara Doris Manggalang Raja Sagala, Jonswaris Sinaga, Amudin Laia, dan Roy Sitompul yang mempersoalkan syarat pengunduran diri bagi anggota Polri, TNI, PNS/ASN, dan Kepala Desa yang ingin maju sebagai calon kepala daerah.
Para pemohon menilai kewajiban menyerahkan Surat Keputusan (SK) Pemberhentian sejak pendaftaran dapat membuka ruang ketidaknetralan aparat, khususnya bagi mereka yang bertugas di Sentra Gakkumdu.
Pertimbangannya, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menegaskan bahwa kekhawatiran para pemohon mengenai potensi ketidaknetralan aparat tidak berkaitan langsung dengan norma yang diuji, melainkan menyangkut persoalan implementasi pengawasan dan penegakan kode etik di masing-masing instansi.
Menurut Mahkamah, aparat TNI, Polri, PNS/ASN, maupun Kepala Desa telah memiliki mekanisme internal yang mengatur pencegahan pelanggaran netralitas. Aparat yang mendaftarkan diri sebagai calon juga secara otomatis tidak lagi dapat bertugas dalam Sentra Gakkumdu.
“Dalam batas penalaran yang wajar, dengan diterapkannya pengawasan dan penegakan kode etik aparat, mereka yang mendaftar sebagai calon tentu saja tidak lagi ditugaskan sebagai bagian dari Gakkumdu sehingga tidak berpotensi menyalahgunakan wewenangnya,” ujar Daniel.
MK menilai bahwa mewajibkan aparat menyerahkan SK Pemberhentian saat mendaftar justru dapat menghalangi hak warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Proses penerbitan SK Pemberhentian biasanya membutuhkan waktu panjang dan tidak sebanding dengan masa pendaftaran yang dibatasi.
Situasi serupa juga berlaku bagi Kepala Desa, yang menurut Mahkamah akan kehilangan hak berpartisipasi apabila syarat itu tetap diberlakukan pada tahap pendaftaran.
Daniel menjelaskan bahwa Mahkamah telah memiliki pandangan konsisten sejak Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014, bahwa pengunduran diri secara tertulis berlaku sejak ditetapkan sebagai pasangan calon, bukan sejak mendaftar.
“Pemaknaan bahwa SK pemberhentian harus diserahkan saat pendaftaran akan menjadi syarat yang tidak rasional, tidak proporsional, dan justru tidak adil,” tegas Daniel.
Pemohon juga meminta perlakuan berbeda antara anggota Polri atau PNS/ASN yang tergabung dalam Gakkumdu dan yang tidak. MK menolak permohonan ini karena Sentra Gakkumdu merupakan penugasan sementara, bukan lembaga permanen.
Menurut Mahkamah, pemisahan syarat berdasarkan status keikutsertaan di Gakkumdu justru menimbulkan diskriminasi dan ketidakpastian hukum.
“Sentra Gakkumdu adalah penugasan khusus yang bersifat sementara. Pemaknaan berbeda terhadap aparat yang tergabung di dalamnya merupakan tindakan diskriminatif,” kata Daniel.
Setelah seluruh pertimbangan hukum dikaji, MK menyimpulkan bahwa dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf t UU 10/2016 dinilai tidak bertentangan dengan prinsip pemilihan kepala daerah secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maupun dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengenai nilai-nilai demokrasi.
Selain itu, norma tersebut juga tidak melanggar prinsip persamaan di depan hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, MK menegaskan kembali pendiriannya bahwa aparat TNI, Polri, PNS/ASN, serta Kepala Desa cukup menyatakan pengunduran diri sejak ditetapkan sebagai peserta Pilkada, bukan sejak pendaftaran.


















































