Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menguji ketentuan mengenai hak keuangan dan dana pensiun bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dinilai tidak adil dan berpotensi membebani keuangan negara.
Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 191/PUU-XXIII/2025 dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, digelar di Gedung 1 MK, Senin (27/10).
Permohonan ini diajukan oleh dua dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Ahmad Sadzali dan Anang Zubaidy, bersama lima mahasiswa fakultas yang sama, yaitu Muhammad Farhan Kamase, Alvin Daun, Zidan Patra Yudistira, Rayhan Madani, dan Muhammad Fajar Rizki.
Mereka menggugat sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, khususnya prinsip keadilan sosial dan kepastian hukum.
Para Pemohon menilai dana pensiun DPR yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan bentuk kebijakan yang tidak proporsional dan tidak berkeadilan.
Pajak yang mereka bayarkan, kata Pemohon, seharusnya digunakan untuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan, bukan untuk membiayai tunjangan pensiun pejabat negara yang sudah memperoleh penghasilan tinggi selama menjabat.
“Permasalahan utama bukan sekadar soal nominal, tapi keadilan penggunaan pajak rakyat. Dana pensiun DPR seharusnya tidak lagi dibebankan kepada APBN, apalagi nilainya jauh di atas rata-rata kebutuhan dasar warga,” ujar Pemohon Ahmad Sadzali.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji Pasal 12, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) huruf a, serta Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU 12/1980. Menurut mereka, pasal-pasal tersebut menimbulkan kontradiksi dan ketidakpastian hukum. Misalnya, Pasal 16 ayat (1) huruf a menyatakan pembayaran pensiun berhenti ketika penerima meninggal dunia, tetapi Pasal 17 ayat (1) justru mengatur bahwa janda atau duda penerima pensiun tetap berhak memperoleh setengah dari nilai pensiun.
“Ketentuan ini menimbulkan multitafsir: apakah pensiun berhenti total atau sekadar berganti penerima manfaat? Ketidakjelasan ini melanggar asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” jelas Pemohon Anang Zubaidy.
Selain itu, Pemohon membandingkan skema dana pensiun pejabat publik di negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura, di mana dana pensiun berasal dari iuran pribadi selama masa jabatan, bukan sepenuhnya ditanggung negara. Sistem itu dinilai lebih adil dan efisien, karena pejabat ikut berkontribusi atas manfaat yang diterimanya.
Mereka juga menyoroti ketimpangan nilai antara dana pensiun pejabat tinggi dan upah masyarakat. Berdasarkan perhitungan, tunjangan pensiun DPR disebut mencapai 42 kali lipat lebih besar dari upah minimum di Jakarta. Kondisi ini, menurut Pemohon, memperlihatkan ketidakseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan publik.
“Dengan penghasilan yang begitu besar selama menjabat, ditambah dana pensiun seumur hidup, jelas tidak seimbang dengan realitas ekonomi rakyat. Negara seharusnya menata ulang kebijakan ini agar lebih berpihak pada kesejahteraan umum,” tegasnya.
Pemohon meminta MK menyatakan sejumlah pasal UU 12/1980 inkonstitusional secara bersyarat, terutama yang berkaitan dengan pejabat hasil pemilihan umum seperti anggota DPR. Mereka juga menuntut agar frasa ‘meninggal dunia’ dalam pasal-pasal terkait dihapus atau direvisi karena menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan hukum.
Dalam persidangan, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan nasihat agar para Pemohon memperkuat argumentasi kedudukan hukum (legal standing) dan kerugian konstitusional yang dialami. Ia juga menyarankan agar perbandingan dengan negara lain dipaparkan lebih rinci untuk memperkuat dalil konstitusionalitas.
“Status sebagai dosen perlu dijelaskan kaitannya dengan kerugian konstitusional. Perbandingan internasional juga perlu lebih konkret agar dapat memperkuat argumentasi,” ujar Daniel.
Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menambahkan agar Pemohon melengkapi kajian komparatif sistem pensiun parlemen di negara lain.
“Banyak negara memiliki skema pensiun bagi anggota parlemen. Akan lebih kuat bila Pemohon menunjukkan pola dan praktik terbaik yang dapat dibandingkan,” ucapnya.
Sedangkan Ketua MK Suhartoyo memberikan waktu 14 hari kepada para Pemohon untuk menyempurnakan permohonannya.
“Naskah perbaikan dapat diserahkan paling lambat Senin, 10 November 2025 pukul 12.00 WIB, sebelum MK menggelar sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan,”
Sidang ini menjadi sorotan publik karena menyentuh isu keadilan fiskal dan etika pejabat publik. Gugatan yang diajukan para akademisi dan mahasiswa hukum tersebut dianggap sebagai upaya moral menata ulang kebijakan negara agar berpihak pada kepentingan rakyat, bukan semata pada elite politik yang telah menikmati banyak fasilitas selama menjabat.


















































