MK Wajibkan 30 Persen Kuota Perempuan di Pimpinan DPR dan AKD

6 hours ago 2
MK Wajibkan 30 Persen Kuota Perempuan di Pimpinan DPR dan AKDIlustrasi Gedung DPR RI, (Dok: Kabar Makassar)

KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa setiap alat kelengkapan Dewan (AKD) di DPR harus menjamin keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Ketentuan itu diputuskan melalui Putusan Nomor 169/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dalam sidang pleno yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama enam hakim konstitusi lainnya di Gedung MK, Kamis (30/10).

Putusan tersebut menjadi tonggak baru bagi afirmasi politik perempuan di Indonesia. Mahkamah menyatakan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak menjamin keterwakilan perempuan dalam keanggotaan dan pimpinan AKD. Dengan demikian, setiap pengisian struktur DPR, mulai dari komisi hingga badan-badan pendukung, wajib memuat perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan di tiap fraksi.

“Pimpinan komisi, badan legislasi, badan anggaran, dan badan-badan lainnya harus mencerminkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Jika tidak, maka norma tersebut inkonstitusional,” tegas Saldi Isra.

MK menilai, aturan lama dalam UU MD3 memberi peluang bagi dominasi laki-laki di struktur DPR, terutama pada posisi pimpinan AKD yang selama ini banyak diisi laki-laki. Padahal, menurut Mahkamah, politik hukum Indonesia telah lama mengakui kebijakan afirmatif sebagai bagian dari sistem demokrasi.

“Affirmative action merupakan kesepakatan nasional untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia yang lebih luas,” ujar Saldi.

MK merujuk pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang sebelumnya telah menegaskan penerimaan prinsip CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dalam sistem hukum nasional.

Mahkamah menegaskan, perlakuan khusus bagi perempuan bukan bentuk ketidakadilan, melainkan upaya mencapai keadilan substantif.

“Perempuan secara faktual masih tertinggal dalam berbagai bidang penyelenggaraan negara. Karena itu, negara wajib memberi kemudahan agar kesempatan dan manfaatnya setara dengan laki-laki,” bunyi pertimbangan Mahkamah mengutip Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

Putusan ini juga menyoroti praktik penempatan perempuan di DPR yang selama ini cenderung terpusat di bidang sosial, perlindungan anak, atau pemberdayaan perempuan. MK menilai, kondisi itu mempersempit ruang perempuan dalam memengaruhi kebijakan strategis di bidang ekonomi, energi, hukum, dan pertahanan.

Untuk itu, MK mendorong DPR membentuk mekanisme internal yang memastikan distribusi perempuan merata di seluruh alat kelengkapan. Dua langkah utama yang direkomendasikan ialah pertama, setiap fraksi wajib menugaskan anggota perempuan sesuai kapasitas dan proporsinya di tiap AKD. Kedua, rotasi dan evaluasi berkala perlu dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan gender antar-komisi.

Saldi juga menegaskan bahwa keterwakilan perempuan tidak boleh hanya menjadi formalitas angka.

Kehadiran perempuan, kata dia, membawa ‘politics of presence’ dan ‘politics of ideas’ yakni kehadiran yang mengubah cara berpikir dan kebijakan di ruang politik.

“Keterlibatan perempuan memperkaya perspektif kebijakan publik dengan sensitivitas sosial dan keadilan yang lebih luas,” ujarnya.

Mahkamah juga menilai bahwa prinsip kuota gender sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya target kesetaraan gender dan partisipasi perempuan di semua level pengambilan keputusan. Karena itu, kehadiran perempuan secara berimbang di AKD menjadi bagian dari agenda nasional untuk memperkuat demokrasi inklusif.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan pasal-pasal pengaturan keanggotaan Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, BURT, dan Panitia Khusus harus dimaknai

“memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi.”

Lebih lanjut, MK juga menegaskan bahwa pengisian pimpinan AKD yang diatur tanpa memperhatikan kuota 30 persen perempuan adalah inkonstitusional.

“Tanpa ketentuan kuota, perempuan akan terus terpinggirkan dari posisi strategis, dan dominasi laki-laki akan berlanjut,” tulis Mahkamah dalam putusannya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news