
KabarMakassar.com – Ketua DPP Partai NasDem, Willy Aditya, menanggapi fenomena maraknya pengibaran bendera bergambar tengkorak bertopi ala karakter bajak laut dalam animasi One Piece yang akhir-akhir ini ramai terlihat di berbagai daerah di Indonesia.
Menurutnya, fenomena tersebut merupakan bentuk ekspresi politik dari kalangan muda yang sarat idealisme, namun disayangkan salah sasaran.
“Ini adalah ekspresi politik yang sayangnya salah alamat. Gugatan terhadap pemerintah jangan sampai mengurangi patriotisme atau rasa cinta Tanah Air,” ujar Willy dalam pernyataannya, Minggu (03/08).
Ia menilai bahwa munculnya simbol bajak laut sebagai bentuk protes atau ekspresi sosial mencerminkan rendahnya literasi sebagian masyarakat dalam membedakan antara pemerintah sebagai penyelenggara negara dan negara sebagai entitas bersama yang harus dijaga.
Menurut Willy, ketika kritik kepada pemerintah diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol anti-nasional, maka yang menjadi korban justru adalah keutuhan negara itu sendiri.
“Gugatannya ditujukan kepada pemerintah, tapi yang kena adalah negara. Ini menunjukkan minimnya literasi sebagian anak bangsa tentang mana negara, mana pemerintah,” ujarnya.
Meski demikian, Willy menekankan bahwa pengibaran bendera One Piece tidak serta-merta bisa dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap simbol negara. Selama bendera tersebut tidak menginjak-injak, mengganti, atau melecehkan posisi Bendera Merah Putih, maka hal itu tidak masuk dalam kategori pelanggaran hukum berat.
“Selama tidak melecehkan Merah Putih misalnya menempelkan simbol bajak laut itu di atasnya saya kira itu bukan pelanggaran serius. Beberapa yang saya lihat justru dipasang di bawah Merah Putih,” jelasnya.
Willy mengingatkan agar fenomena ini tidak ditanggapi dengan cara-cara represif. Ia mengajak semua pihak, terutama pemerintah dan aparat, untuk melihat aksi semacam ini dengan kepala dingin dan proporsional.
“Membunuh nyamuk tidak perlu dengan granat. Responsnya harus tetap masuk akal dan proporsional. Jangan sampai kita terjebak dalam provokasi atau overreacting,” ucapnya.
Lebih jauh, Willy menyoroti bahwa semangat protes dari kalangan muda adalah sesuatu yang wajar. Ia menyebut energi, idealisme, dan keberanian generasi muda dalam menggugat ketidakadilan merupakan modal penting dalam demokrasi. Namun, ia juga menekankan perlunya pendewasaan nalar agar ekspresi tersebut tidak berujung pada tindakan kontraproduktif.
“Ekspresinya sering kali genuine dan unik, tapi juga sporadis. Ini tantangan kita untuk menyalurkan semangat itu ke kanal yang sehat,” katanya.
Dalam pandangannya, munculnya simbol-simbol seperti bendera bajak laut bukan hanya persoalan ekspresi, tapi juga sinyal tentang tersumbatnya ruang-ruang dialog antara rakyat dan negara. Oleh karena itu, Willy menegaskan perlunya membuka kembali kanal-kanal diskusi publik secara luas.
“Kalau tidak ada dialog, itu bukan bernegara, tapi berkuasa. Jangan-jangan ini semua muncul karena ruang-ruang dialog tersumbat,” tegasnya.
Willy mengingatkan bahwa menggugat ketidakadilan merupakan hak warga negara, namun harus dilakukan dengan cara yang tepat dan tidak merusak fondasi kehidupan berbangsa.
“Indonesia ini rumah kita. Kalau ada tikus di rumah, jangan rumahnya yang dibakar. Mari kita perbaiki bersama, bukan dihancurkan karena frustrasi,” pungkasnya.