KabarMakassar.com — Setiap pagi, masyarakat kini akrab dengan aktivitas digital: mengecek saldo e-wallet, memantau pergerakan harga Bitcoin, atau menanti notifikasi persetujuan AI scoring dari aplikasi pinjaman.
Dunia keuangan telah berubah; ia bukan lagi sebatas lembar kertas di bank. Kini, uang adalah arus data yang cepat, bergerak dalam kecepatan kilobyte, dan sering kali tersembunyi dari pengawasan mata telanjang.
Transformasi fundamental ini menuntut lembaga keuangan dan regulator untuk berpegang teguh pada komitmen paling mendasar di era digital: kepercayaan publik.
Namun di balik kemudahan itu, tersimpan risiko besar. Mulai dari investasi bodong yang bersembunyi di balik istilah kripto yang kompleks, jerat pinjaman online ilegal yang menekan masyarakat, hingga keputusan finansial yang kini diambil oleh algoritma—yang bahkan para pengembangnya pun tidak sepenuhnya memahami logika di baliknya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di tengah gelombang revolusi digital tanpa henti, kini berdiri di garis depan melawan erosi kepercayaan ini.
Kerugian Generasi Digital: Antara Token dan Keterpercayaan
Bagi generasi muda, definisi uang telah berevolusi. Uang kini adalah nilai digital, tersimpan di server, berputar melalui QR Code, dan menjelma menjadi token di blockchain.
Sebagai pihak yang kerap berinteraksi dengan korban, saya dapat menceritakan sebuah kasus. Seorang mahasiswi—kita sebut Rina—membagikan pengalamannya. Dana kuliahnya hilang hanya dalam semalam.
“Awalnya Rp500 ribu, Pak. Tetapi, karena bujukan return 20 persen di grup Telegram, saya terus menambahkan investasi. Dijanjikan platform kripto masa depan. Ujungnya? Ternyata itu hanyalah janji fiktif,” tuturnya lirih.
Kasus Rina menunjukkan lebih dari sekadar kerugian materi, tetapi juga hilangnya rasa percaya terhadap sistem yang seharusnya memberikan perlindungan.
Data OJK menjadi bukti konkret. Lebih dari 60 persen investor baru di pasar modal berada pada rentang usia 18 hingga 30 tahun. Mereka adalah Generasi Z yang memperoleh pemahaman investasi dari media sosial, bukan dari forum formal.
Satgas Waspada Investasi (SWI) mencatat kerugian masyarakat akibat investasi ilegal telah mencapai angka yang sangat mengkhawatirkan: melampaui Rp20 triliun sejak 2018 hingga paruh kedua 2024.
Angka ini mewakili ribuan kisah hidup yang hancur, semua bermula dari satu tindakan sederhana: sebuah klik yang didorong oleh kepercayaan buta terhadap imbal hasil instan.
Perlombaan Regulasi: Mengejar Inovasi Tanpa Mengorbankan Keamanan
Dunia digital tidak pernah menunggu birokrasi. Ketika platform baru muncul, perangkat hukum sering kali tertinggal dalam menyusun definisi dan batasan.
OJK telah mengambil langkah maju. Sejak awal 2025, dengan berlakunya PP 49 Tahun 2024 dan POJK 27 Tahun 2024, OJK resmi memulai peran barunya sebagai pengawas aset kripto.
Ini merupakan reposisi filosofis besar yang menyatukan pengawasan komoditas digital ke dalam payung keuangan yang lebih kredibel dan kuat.
Langkah strategis ini sejalan dengan tren global. Di Uni Eropa, kerangka MiCA (Markets in Crypto-Assets Act) sudah lebih dulu memaksa pelaku industri digital tunduk pada prinsip kehati-hatian. OJK mengejar standar global serupa, memastikan aset digital tetap berpihak pada keamanan publik.
Perlombaan regulasi ini, secara hakiki, bukan tentang kecepatan teknologi semata. Ini adalah upaya berkelanjutan untuk memastikan prinsip keadilan digital tetap memihak pada manusia.
Pasar kripto beroperasi tanpa henti, melintasi batas negara, sementara regulasi terikat pada yurisdiksi teritorial. Pertanyaannya krusial: bagaimana OJK yang berbasis teritori dapat mengejar entitas yang bergerak tanpa batas? Jawabannya terletak pada pengembangan inovasi pengawasan yang berbasis teknologi itu sendiri, bukan hanya pada aturan yang reaktif.
Dilema Etis: Ketika AI Menentukan Nasib Kredit
Bukan hanya aset digital yang menuntut pengawasan baru. Kecerdasan Buatan (AI) kini telah berfungsi sebagai otak baru sektor keuangan. AI memberikan persetujuan kredit; AI menilai profil risiko investasi nasabah.
Di sini, muncul dilema etis yang mendalam. Ambil contoh pengusaha UMKM di daerah. Riwayat pinjamannya terlihat “buruk” di mata algoritma karena menunggak saat pandemi COVID-19. Padahal, kini bisnisnya sudah pulih. Bagaimana sistem AI dapat memahami konteks yang luput di balik data angka?
“Dalam penilaian kredit, kita harus menimbang niat baik di balik angka. Algoritma bisa akurat, namun sayangnya ia buta empati,” kata seorang pejabat OJK saat diwawancarai.
OJK merespons ini melalui SE 67 Tahun 2025 tentang Tata Kelola AI Perbankan. Aturan ini menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam penggunaan AI. Regulasi ini secara tegas menyatakan: AI boleh menganalisis data, tetapi keputusan final harus tetap di tangan manusia.
Alasannya sederhana: Dalam dunia keuangan, mata uang tertinggi bukanlah cuan. Itu adalah kepercayaan, yang harus dibangun atas dasar akal sehat dan hati nurani.
Regulatory Sandbox: Ruang Uji Cerdas dan Akomodasi Inovasi
Sektor fintech dilihat OJK sebagai laboratorium raksasa yang harus dijaga. Di sinilah fungsi strategis Regulatory Sandbox berperan penting.
Melalui POJK 3 Tahun 2024 tentang Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), peran OJK bertransformasi dari sekadar polisi keuangan menjadi fasilitator yang cerdas dan suportif.
Startup dapat menguji ide-ide paling radikal tanpa harus langsung tunduk pada regulasi penuh, asalkan tetap dalam koridor pengawasan ketat OJK.
Pendekatan ini menandai perubahan paradigma besar: OJK tidak hanya menertibkan pasar, tetapi juga menuntun inovasi agar dapat tumbuh kuat tanpa merobek jaring pengaman masyarakat.
Literasi dan Integritas: Menjaga Nurani di Balik Kode Biner
Perlindungan terbaik, pada akhirnya, adalah pengetahuan itu sendiri: Literasi Keuangan. Melalui program SIKAPI dan kampanye Waspada Investasi Ilegal, OJK berupaya membangun tameng literasi yang kokoh bagi generasi yang rentan terhadap godaan cuan instan.
Konten edukasi OJK kini hadir dalam bentuk podcast, komik digital, hingga kolaborasi dengan influencer muda, mengubah narasi keuangan yang rumit menjadi pesan yang bermakna.
Tantangan terberat OJK adalah menjaga nurani dan keadilan di tengah kecepatan inovasi. Dunia keuangan sudah berubah total. Uang menjadi data, transaksi menjadi kode, dan kepercayaan kini bergantung pada kualitas algoritma.
Namun, kita tidak boleh lupa esensinya. Ujung dari setiap transaksi selalu tentang manusia. Tentang mimpi mereka. Ketenangan hidup mereka.
Maka, OJK berdiri sebagai penjaga janji keamanan finansial masyarakat. Di balik setiap regulasi, tersimpan satu harapan sederhana: agar teknologi tidak hanya menguntungkan sebagian kelompok, tetapi juga melindungi semua warga negara. Itulah arti sejati dari regulasi yang berpihak pada kemanusiaan.