KabarMakassar.com — Masih banyak masyarakat yang menganggap operasi jantung sebagai prosedur medis yang menakutkan dan berisiko membatasi aktivitas fisik pasien. Padahal, menurut pakar bedah jantung, justru sebaliknya, operasi jantung dilakukan untuk memulihkan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pemahaman inilah yang selalu ditekankan oleh dr. Sugisman, Sp.BTKV(K), spesialis bedah toraks, kardiak, dan vaskular dari RS Premier Bintaro, kepada setiap pasien sebelum menjalani tindakan bedah.
“Tujuan dilakukannya operasi bedah jantung itu justru untuk meningkatkan quality of life, bukan untuk menurunkan quality of life. Itu yang sering saya tekankan pada setiap pasien yang akan menjalani operasi, ‘bahwa Anda di operasi ini agar bisa bekerja lebih aktif’,” ujarnya, Sabtu (27/09).
Dia menegaskan bahwa operasi bukanlah pilihan terakhir yang membuat pasien harus pasrah dan tidak aktif. Sebaliknya, tindakan ini dilakukan agar pasien bisa kembali menjalani hidup normal tanpa dihantui rasa takut yang berlebihan.
“Bukan untuk tidak bisa ngapa-ngapain, kalau akhirnya saya operasi untuk hanya diam di rumah, duduk atau tidur, saya mendingan tidak usah operasi itu pasien karena tujuannya tidak tercapai, jadi tujuan operasi itu adalah untuk meningkatkan quality of life,” tegasnya.
Menurut dr. Sugisman, penderita penyakit jantung cenderung dibayangi ketakutan berlebih yang justru mengganggu kualitas hidup mereka sehari-hari. Rasa cemas tersebut dapat muncul dalam berbagai situasi, mulai dari bepergian menggunakan kendaraan hingga naik pesawat.
“Anda mau ke mana, mau naik motor, naik mobil atau naik pesawat, terbayang nanti kalau seserangan jantung bagaimana? Saya lagi naik pesawat, tiba-tiba sakit serangan jantung, bagaimana? Justru itu kan quality of life jadi jelek kan?” katanya.
Untuk itu, kata dr. Sugisman, tindakan medis seperti operasi bypass atau pemasangan ring diperlukan agar penyakit jantung bisa ditangani dengan tuntas.
“Nah, supaya quality of life naik, penyakit jantung itu harus dibereskan. Jadi kalau misalnya dia ada sumbatan koroner, ya sebaiknya dia operasi bypass atau dipasang ring, apapun itu jalur pengobatannya,” ungkapnya.
Dia juga mengingatkan agar pasien tidak hanya bergantung pada pengobatan oral tanpa rekomendasi dokter spesialis.
“Jangan diam-diam, nggak boleh hanya minum obat, nggak cukup. Kecuali memang keputusan dokternya hanya untuk minum obat,” tambahnya.
Tidak hanya pasien, dukungan keluarga juga memainkan peran penting dalam proses penyembuhan.
Dokter kelahiran Majene, Sulawesi Barat ini berujar, edukasi terhadap keluarga pasien sangat dibutuhkan, terutama agar mereka memahami langkah-langkah pertolongan pertama saat kondisi darurat terjadi.
Pemahaman ini penting agar keluarga tidak mudah terpengaruh oleh informasi keliru yang beredar luas, terutama di media sosial. Banyak sekali beredar cara-cara pertolongan pertama yang tidak terbukti secara medis dan justru bisa membahayakan pasien.
“Kan di media sosial itu kan selalu banyak itu berita, apakah hoax atau benar, selalu banyak itu. Kalau serangan jantung, pukul-pukul belakangnya atau apa gitu, atau pijit-pijit tangannya, banyak itu di situ. Nah, jangan mudah percaya dengan yang begitu. Karena kadang-kadang itu justru membuat pasien itu cepat meninggal karena dilakukan tindakan-tindakan yang tidak proper, yang tidak benar,” lanjutnya.
Untuk kasus serangan jantung mendadak, tindakan resusitasi jantung paru (RJP) menjadi hal utama yang harus dilakukan.
“Kalau ada orang serangan jantung ya, kalau dia misalnya dia henti jantung, dia harus di-CPR (Cardiopulmonary Resuscitation ), di RJP (Resusitasi Jantung Paru),” jelas dr. Sugisman.
Dia juga menyoroti pentingnya pelatihan pertolongan pertama seperti yang sudah diterapkan di banyak negara maju. Di sana, masyarakat umum dibekali dengan keterampilan dasar untuk merespons kondisi darurat jantung.
“Kalau orang di luar negeri, di luar negeri itu hampir semua unit layanan umum itu ada alat medical emergency equipment namanya. Alat untuk memompa jantung dengan menggunakan alat. Itu ada itu di setiap sudut,” tuturnya.
Lebih jauh lagi, masyarakat di negara-negara tersebut juga mendapatkan pelatihan dasar pertolongan pertama untuk kasus henti jantung, yang sangat bermanfaat saat kejadian terjadi di tempat umum.
“Kalau kita ke luar negeri, ke Eropa, ke Amerika, pasti ada. Dan penduduknya, itu diajarin cara memberikan pertolongan pertama pada penderita henti jantung. Itu diajarin. Supaya apa? Supaya dia bisa menolong saudaranya kah, temannya kah. Di tempat kerja lagi ada serangan jantung, dia bisa menolong, memberikan pertolongan pertama sebelum ditransfer ke hospital, ke rumah sakit,” pungkasnya.


















































