
KabarMakassar.com — Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada mantan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dinilai sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusional dan kepentingan nasional yang lebih besar.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr. Fahri Bachmid, menyatakan bahwa dua kebijakan tersebut bukan tindakan personal ataupun politis semata, melainkan produk konstitusional yang berpijak pada tradisi demokrasi dan stabilitas negara.
“Ini bukan soal siapa yang diberi. Tapi bagaimana presiden menggunakan hak prerogatifnya secara bertanggung jawab dan konstitusional,” ujar Fahri, Jumat (01/08).
Fahri menjelaskan, secara filosofis dan teoritis, keberadaan amnesti dan abolisi adalah bentuk pengampunan negara yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Keduanya memungkinkan presiden menghapus atau menghentikan proses hukum atas dasar pertimbangan politik, keadilan, dan kemanusiaan namun harus mendapat pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Amnesti merupakan penghapusan hukuman terhadap orang atau kelompok yang telah dijatuhi pidana, seringkali dalam konteks politik. Sebaliknya, abolisi adalah penghapusan proses hukum yang masih berlangsung. Kedua kebijakan ini diatur juga dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954.
“Prinsip check and balance tetap berlaku. Presiden tidak bisa bertindak sepihak, DPR harus terlibat,” jelas Fahri.
Menurut Fahri, keputusan Presiden Prabowo memberikan abolisi dan amnesti mencerminkan kepemimpinan yang melihat lebih jauh pada stabilitas nasional, mencegah polarisasi masyarakat, serta membangun kepercayaan publik.
“Presiden jelas mengkalkulasi seluruh aspek, baik hukum maupun sosial-politik. Ini bukan keputusan transaksional, tetapi deklarasi moral dan konstitusional yang dilandasi kepentingan negara,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa langkah tersebut adalah bentuk penegakan hak konstitusional setiap warga negara, serta upaya negara dalam mengoreksi potensi ketidakadilan yang muncul dalam praktik hukum.
Fahri menambahkan bahwa pengampunan oleh presiden merupakan warisan dari tradisi pemerintahan global, termasuk sistem monarki Inggris, yang memberi ruang bagi pemimpin untuk bertindak sebagai sumber keadilan melalui hak prerogatif eksekutif (executive prerogative).
Fahri menyatakan bahwa abolisi dan amnesti tidak hanya alat hukum, tetapi juga instrumen politik yang sah dalam sistem demokrasi konstitusional. Mekanisme ini memungkinkan negara mengelola ketegangan, mendorong rekonsiliasi, dan memperkuat integrasi nasional.
“Amnesti dan abolisi bukan jalan pintas. Ini bagian dari desain konstitusional kita yang memberi ruang bagi presiden untuk menjaga keutuhan dan masa depan bangsa,” katanya.
Fahri menyatakan bahwa abolisi dan amnesti tidak hanya alat hukum, tetapi juga instrumen politik yang sah dalam sistem demokrasi konstitusional. Mekanisme ini memungkinkan negara mengelola ketegangan, mendorong rekonsiliasi, dan memperkuat integrasi nasional.
“Amnesti dan abolisi bukan jalan pintas. Ini bagian dari desain konstitusional kita yang memberi ruang bagi presiden untuk menjaga keutuhan dan masa depan bangsa,” katanya.
“Dalam semua kasus itu, presiden bertindak atas nama kepentingan bangsa. Demikian pula sekarang,” kata Fahri.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, menurut Fahri, telah menempuh prosedur yang sah dan dilandasi pertimbangan yang menyeluruh. Pelibatan DPR dalam proses pengambilan keputusan menunjukkan komitmen terhadap sistem check and balance yang sehat.
“Langkah ini menegaskan bahwa negara memiliki cara yang konstitusional untuk menyelesaikan masalah hukum dan politik yang kompleks, tanpa meninggalkan prinsip keadilan dan kemanusiaan,” tegas Dr. Fahri Bachmid.
Lebih lanjut Ia menyebut, dalam konteks Indonesia, hampir semua presiden sejak era Soekarno telah memanfaatkan hak konstitusional ini untuk meredakan konflik atau menyelesaikan dinamika politik nasional.
Pada tahun 1959 terdapat amnesti dan abolisi untuk pengikut DI/TII Kahar Muzakar, kemudian pada tahun 1961 Pengampunan terhadap pemberontak Daud Bereuh.
“Begitu juga di tahun 1999 amnesti untuk Budiman Sudjatmiko dan aktivis reformasi, sedangkan di tahun 2005 terdapat amnesti-abolisi terhadap 1.200 orang terkait Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sedangkan pada tahun 2019 – Amnesti untuk Baiq Nuril, korban kriminalisasi UU ITE,” pungkasnya.