Pakar Unhas Nilai Fenomena Bendera One Piece Bentuk Kritik Sosial, Bukan Ancaman

4 hours ago 3

KabarMakassar.com — Fenomena pengibaran bendera bajak laut khas anime One Piece yang mulai marak menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-80 memicu perdebatan di tengah masyarakat.

Simbol tengkorak dengan tulang bersilang yang terpampang di berbagai tempat publik, termasuk tiang rumah dan gang pemukiman, dianggap sebagian pihak sebagai bentuk ancaman terhadap ketertiban, bahkan ada yang menilai sebagai provokasi tersembunyi.

Namun pandangan berbeda datang dari pakar sosiologi Universitas Hasanuddin, Prof. Irwansyah, yang menilai bahwa simbol tersebut sejatinya adalah bentuk kritik sosial, bukan tindakan subversif atau upaya menggulingkan negara.

“Kalau tidak menghina suku, agama, ras, atau golongan tertentu, dan tidak berkaitan dengan organisasi terlarang, maka secara sosiologis itu adalah ekspresi yang sah. Berbeda halnya dengan lambang seperti palu arit, yang jelas merupakan simbol Partai Komunis Indonesia dan secara hukum dilarang,” ujarnya melalui saluran telpon, Senin (04/08).

Menurut Irwansyah, pengibaran simbol seperti bendera One Piece lebih tepat dibaca sebagai “saluran ekspresi kekecewaan generasi muda terhadap situasi sosial dan politik hari ini.”

Ia menilai, simbol-simbol semacam itu muncul dari rasa frustasi dan kejenuhan yang tidak memiliki outlet atau ruang dialog formal.

“Banyak anak muda yang merasa tidak didengar. Jadi mereka memilih cara kreatif mengekspresikan kekecewaannya. Tapi tidak semua orang paham konteks itu, sehingga muncul kekhawatiran, salah tafsir, lalu pemerintah bereaksi secara represif,” jelasnya.

Sebagai contoh pendekatan yang lebih bijak, Irwansyah mengingatkan kembali pada kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora di Papua.

Meskipun sempat dilarang, bendera itu diizinkan dikibarkan selama tidak lebih tinggi dari bendera merah putih karena dipahami sebagai simbol budaya, bukan separatisme.

“Pemerintah waktu itu mengambil keputusan berdasarkan kajian mendalam. Tidak langsung dilarang mentah-mentah. Nah, harusnya dalam kasus bendera One Piece ini juga demikian. Harus dibedakan mana simbol budaya, mana yang politis, mana yang mengandung bahaya ideologis,” tambahnya.

Namun ia juga mengingatkan bahwa jika fenomena ini terus meluas tanpa penanganan yang tepat, maka potensi gangguan ketertiban bisa muncul.

“Pemerintah boleh saja melakukan tindakan preventif, tapi bukan represif. Edukasi publik dan pendekatan dialog sangat dibutuhkan,” tegasnya.

Dosen Fakultas Hukum Unhas itu juga ikut mengamati fenomena ini menambahkan bahwa pendekatan hukum terhadap simbol semestinya mempertimbangkan konteks dan niat di balik penggunaannya.

“Kalau sekadar simbol budaya pop, lalu langsung dilarang, maka negara dianggap paranoid. Padahal belum tentu ada niat melawan negara. Itu justru bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah,” katanya.

Ia pun mencontohkan penanganan simbol-simbol komunitas LGBT di Eropa yang dikibarkan secara terbuka tanpa larangan karena dianggap bagian dari kebebasan berekspresi. Namun ia memahami bahwa konteks di Indonesia berbeda.

“Kita punya cara pandang dan nilai sosial yang lain. Tapi bukan berarti semua hal harus dilarang. Harus ada ukuran rasional, bukan sekadar ketakutan,” ujarnya.

Irwansyah juga mendorong DPRD dan pemerintah daerah agar tidak diam menyaksikan fenomena ini. Menurutnya, ini saatnya lembaga perwakilan rakyat membuka ruang dialog dengan generasi muda.

“Kalau ini adalah bentuk kritik, ya jawab dengan solusi. Bukan dengan pelarangan simbol. Itu hanya menyumbat saluran yang sebenarnya bisa menyuarakan keresahan masyarakat,” katanya.

Ia mengingatkan bahwa diamnya anak muda bukanlah tanda sehat. “Kalau generasi muda tidak mengkritik, tidak bereaksi, justru itu berbahaya bagi demokrasi. Yang penting koridornya dijaga, ruang dialognya dibuka,” pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, jagat maya diramaikan dengan kemunculan bendera bajak laut dari anime One Piece yang dikibarkan warga di berbagai penjuru tanah air.

Bendera berwarna hitam dengan simbol tengkorak bertopi jerami itu terlihat dikibarkan di atap rumah, pinggir jalan, hingga truk, berdampingan dengan bendera Merah Putih.

Fenomena ini menuai beragam respons. Sebagian warganet menganggapnya sebagai bentuk protes terhadap kondisi bangsa yang dianggap tengah merosot.

Tak sedikit pula yang menyebut pengibaran bendera anime ini sebagai ungkapan kekecewaan terhadap pemerintah.

“Banyak yang mengibarkan bendera One Piece bareng bendera Merah Putih di tujuh belasan ini. Pertanyaannya, Pak @prabowo paham nggak pesan tersirat ini?” tulis salah satu akun di media sosial X, yang viral dan banyak mendapat tanggapan.

Fenomena ini muncul tak lama setelah pemerintah merilis logo resmi peringatan HUT ke-80 RI yang mengusung tema Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.

Menanggapi fenomena tersebut, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menyebut ada indikasi kuat bahwa pengibaran bendera One Piece merupakan bagian dari gerakan sistematis yang bertujuan memecah belah bangsa.

“Ya, itu ada gerakan sistematis untuk memecah belah kesatuan bangsa,” kata Dasco di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (31/07).

Ia bahkan mengklaim telah menerima laporan intelijen mengenai potensi adanya pihak-pihak yang tidak senang dengan kemajuan Indonesia dan mencoba mengganggu stabilitas nasional menjelang HUT kemerdekaan.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news