Pemerhati Ungkap Banyak Korban TPPO di Sulsel Berangkat karena Ajakan Kerabat dan Sosmed

1 week ago 16
Pemerhati Ungkap Banyak Korban TPPO di Sulsel Berangkat karena Ajakan Kerabat dan SosmedIlustrasi kasus TPPO (Dok : KabarMakassar).

KabarMakassar.com — Fenomena tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Sulawesi Selatan terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Data Polda Sulsel hingga November 2024 mencatat 36 laporan polisi dengan 39 tersangka dan 59 korban.

Teranyar, berdasarkan data Operasi Pekat Lipu 2025 mengungkap 49 tersangka TPPO dalam kurun waktu 3–20 Mei 2025.

Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Didik Supranoto menyebut penindakan ini menjadi bukti bahwa jaringan perdagangan orang terus bergerak meski berbagai upaya pencegahan telah dilakukan pemerintah.

Di balik angka yang terus meningkat, pemerhati pekerja migran Firman Hermanda memaparkan akar persoalan yang selama ini jarang disorot, ajakan dari orang terdekat dan rayuan di media sosial (Medsos ).

Menurutnya, dua pintu masuk inilah yang paling sering mengantarkan warga, terutama di daerah pinggiran Sulsel, menjadi korban TPPO.

Firman menjelaskan, pola perekrutan TPPO di Sulsel hampir selalu dimulai dari lingkar terdekat korban yaitu keluarga, kerabat, hingga tetangga.

“Di Sulawesi Selatan ini hampir rata-rata pekerja imigran tujuan Malaysia direkrut oleh keluarga sendiri. Awalnya dari keluarga, baru merembet ke kenalan,” tegasnya.

Banyak warga sadar bahwa jalur yang ditawarkan adalah jalur ilegal. Namun tekanan ekonomi membuat mereka mengambil risiko tersebut. Apalagi, proses administrasi yang membutuhkan waktu berbulan-bulan membuat warga enggan menunggu.

“Orang sudah punya hutang, butuh makan, dan tidak mungkin menunggu administrasi berbulan-bulan. Dalam kondisi begitu, iming-iming keluarga terasa lebih nyata daripada prosedur resmi,” ujar Firman.

Ia menambahkan, sebagian korban menjalani proses keberangkatan hanya karena percaya cerita sukses dari kerabat yang pernah bekerja di luar negeri.

“Narasi seperti ‘di Malaysia enak, gajinya besar’ itu sangat memengaruhi. Padahal mereka tidak tahu bahwa itu bagian dari jaringan,” katanya.

Selain ajakan keluarga, penetrasi media sosial memperparah situasi. Firman menyebut sosmed seperti Facebook sebagai salah satu platform yang sering digunakan perekrut untuk memasang iklan lowongan kerja palsu.

“Banyak masyarakat, terutama di desa, melihat iklan ‘berangkat resmi ke Arab Saudi’ atau negara lain. Mereka tertarik dan langsung menghubungi nomor yang tertera,” jelasnya.

Menurutnya, dua kelompok paling rentan adalah masyarakat yang tidak melek teknologi dan kelompok yang melek teknologi tetapi tetap nekat karena terdesak.

“Yang paham IT pun masih tertipu karena iming-iming gaji besar. Informasi di sosmed itu makin canggih memperdaya,” tambahnya.

Firman menilai masalah TPPO tak hanya soal modus rekrutmen, tetapi juga soal lambannya proses administrasi legal pekerja migran. Prosedur yang memakan waktu hingga enam bulan termasuk pelatihan menjadi alasan masyarakat memilih jalur ilegal.

“Persoalan perut tidak bisa menunggu berbulan-bulan,” singkatnya.

Sosialisasi juga dinilai sangat kurang, terutama di desa-desa. Minimnya pemahaman membuat calon pekerja migran tidak tahu mana perusahaan resmi dan mana yang bukan.

“Sosialisasi harus sampai RT. Selama ini sangat kurang di akar rumput,” ujarnya.

Selain faktor sosial, Firman menyoroti kelemahan di pintu perbatasan (PLBN), khususnya jalur yang menghubungkan Kalimantan dengan Sarawak–Malaysia. Ia menduga adanya oknum yang bermain di lapangan.

“Ada orang masuk tanpa paspor, ada juga paspor yang dibuat di Kalimantan, padahal orangnya dari Sulsel. Ini bukan kasus baru, ini kasus lama saya pernah dapatkan kasusnya,” ungkapnya.

Menurutnya, jika pintu perbatasan longgar, maka TPPO akan terus terjadi. “Kuncinya di pintu. Kalau pintu longgar, pasti lolos,” tegasnya.

Ia menggambarkan jaringan ini sebagai struktur masif yang bekerja dari desa hingga lintas negara. “Ada bosnya, ada perekrutnya. Sistemnya jelas, siapa ambil berapa orang, dapat berapa uang. Ini terstruktur, masif, sistematis,” tegas Firman.

Meski masalahnya kompleks, Firman menilai TPPO bisa ditekan jika pemerintah benar-benar serius. Ada tiga langkah utama yang harus dilakukan jika ingin menekan angka TPPO yaitu, mempercepat administrasi migran, memperluas sosialisasi hingga tingkat RT, serta memperketat pintu perbatasan dan imigrasi.

“Kalau tiga hal ini dilakukan, saya yakin ada perubahan signifikan,” tutupnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news