KabarMakassar.com — Pemerintah pusat kini resmi dapat berperan sebagai kreditur bagi pemerintah daerah (pemda), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat yang diteken oleh Presiden Prabowo Subianto pada 10 September 2025.
Kebijakan ini menjadi tonggak baru dalam sistem fiskal Indonesia. Untuk pertama kalinya, pemerintah pusat tidak hanya menyalurkan dana melalui transfer dan hibah, tetapi juga dapat memberikan pinjaman langsung sebagai bentuk dukungan pembiayaan pembangunan nasional dan daerah.
Dengan PP ini, pemerintah pusat resmi berperan sebagai lembaga pemberi pinjaman yang memiliki kewenangan penuh untuk menilai, menyetujui, dan mengelola utang yang diajukan oleh pemda maupun badan usaha milik negara.
Skema Baru Pembiayaan Daerah
Dalam Pasal 2, disebutkan bahwa pemerintah pusat berwenang memberikan pinjaman kepada pemda, BUMN, dan BUMD. Namun, kebijakan ini tidak berlaku untuk pinjaman luar negeri atau pembiayaan melalui surat berharga negara. Artinya, pemerintah pusat menjadi satu-satunya lembaga domestik yang berwenang memberikan pinjaman berbasis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Tujuan utama pemberian pinjaman ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 4, adalah untuk mendukung penyediaan infrastruktur, peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan industri dalam negeri, dan pembiayaan sektor produktif. Pemerintah ingin memastikan bahwa dana pinjaman yang dikucurkan tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi memberi dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
“Pemberian pinjaman oleh pemerintah pusat dilaksanakan dengan tujuan untuk mendukung kegiatan penyediaan infrastruktur, pelayanan umum, dan pembangunan ekonomi produktif,” demikian tertulis dalam pasal.
Menteri Keuangan Jadi Pengendali Utama
Sesuai Pasal 7, seluruh proses penyaluran pinjaman dilakukan atas nama pemerintah pusat dan dikelola oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara.
“Menteri Keuangan memiliki kewenangan penuh dalam menilai kelayakan, menentukan besaran pinjaman, hingga mengatur mekanisme pengembalian,” tulis pasal 7.
Setiap rencana penyaluran pinjaman harus melalui persetujuan DPR RI, karena merupakan bagian dari pembahasan dan persetujuan APBN atau APBN Perubahan. Sumber dana pinjaman, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8, sepenuhnya berasal dari APBN.
Dengan demikian, pemerintah pusat menegaskan bahwa skema utang ini bukan instrumen komersial murni, melainkan alat fiskal strategis untuk memperkuat sinergi pusat dan daerah dalam pembangunan.
Syarat Ketat bagi Daerah
Kebijakan baru ini juga diiringi persyaratan ketat. Berdasarkan Pasal 12, daerah yang ingin mengajukan pinjaman wajib memenuhi sejumlah kriteria:
Jumlah total utang tidak boleh melebihi 75 persen dari pendapatan APBD tahun sebelumnya.
Daerah harus memiliki rasio kemampuan membayar utang minimal 2,5 kali lipat dari nilai pinjaman.
Tidak memiliki tunggakan pinjaman kepada pemerintah pusat atau lembaga keuangan lain.
Kegiatan yang dibiayai wajib tercantum dalam dokumen perencanaan daerah dan APBD.
Selain itu, setiap pengajuan pinjaman juga harus mendapat persetujuan DPRD sebagai bagian dari pengawasan politik dan fiskal daerah.
BUMN dan BUMD juga diatur dengan ketentuan serupa. Mereka hanya dapat mengajukan pinjaman jika tidak memiliki tunggakan dan wajib memperoleh izin dari menteri atau kepala daerah yang mewakili pemilik modal.
Pengawasan dan Akuntabilitas
Dalam Pasal 15, Menteri Keuangan diwajibkan melakukan penilaian kelayakan kredit terhadap setiap pengajuan, termasuk analisis kapasitas fiskal, kemampuan membayar, dan risiko keuangan. Jika dinilai layak, pinjaman dapat disetujui seluruhnya atau sebagian.
Selanjutnya, Pasal 20 mewajibkan penandatanganan perjanjian resmi antara pemerintah pusat dan penerima pinjaman. Dokumen tersebut memuat jumlah pinjaman, tujuan penggunaan dana, jangka waktu, serta hak dan kewajiban para pihak.
Pembayaran cicilan pokok, bunga, dan biaya lainnya dilakukan melalui rekening kas umum negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 25. Pemerintah juga menegaskan seluruh transaksi pinjaman harus menggunakan mata uang rupiah untuk menjaga stabilitas moneter.
Agar dana digunakan sesuai tujuan, Pasal 29–31 mengatur kewajiban pelaporan berkala kepada Menteri Keuangan. Pemerintah pusat berhak melakukan evaluasi dan, jika ditemukan penyimpangan, dapat membatalkan sebagian atau seluruh pinjaman.
Dorong Pembangunan dan Cegah Ketimpangan
Dalam penjelasan umum PP 38/2025, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini bukan sekadar membuka akses utang baru, tetapi menjadi mekanisme pembiayaan terarah dan terukur untuk mempercepat pembangunan daerah.
Skema pinjaman ini diharapkan membantu daerah yang kesulitan pendanaan infrastruktur atau pelayanan publik, terutama di sektor kesehatan dan pendidikan, tanpa harus bergantung pada lembaga keuangan asing. Bahkan, aturan ini juga memungkinkan penggunaan dana pinjaman dalam kondisi darurat nasional, seperti bencana alam atau non-alam.
Kebijakan pinjaman pemerintah pusat akan disusun setiap lima tahun sekali dan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) agar tetap sinkron dengan arah kebijakan nasional. Menteri Keuangan juga wajib berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian BUMN, Sekretariat Negara, dan Bappenas untuk menjaga konsistensi kebijakan.


















































