
KabarMakassar.com – Muktamar ke-10 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang akan digelar akhir 27 September 2025, atmosfer politik di internal partai berlambang Ka’bah itu semakin panas.
Dalam agenda muktamar tersebut, PPP juga akan melakukan pemilihan Ketua Umum (Ketum) untuk menahkodai partai berlambang Ka’bah tersebut. Setidaknya, ada tiga nama yang muncul jelang Muktamar Ke-X diantaranya Muhamad Mardiono, Agus Suparmanto dan Husnan Bey.
Sejauh ini, deklarasi dukungan massif untuk Muhamad Mardiono di satu sisi memperlihatkan soliditas struktural, namun di sisi lain juga membuka ruang ketidakpastian akibat dinamika elite.
Pengamat politik dari Profetik Institute, Muhammad Asratillah, menyebut muktamar kali ini unik karena mempertontonkan tiga figur di politik PPP.
“Di satu sisi ada klaim dukungan kuat terhadap Mardiono sebagai kader internal, di sisi lain ada dinamika elite yang bisa membuat kontestasi tidak berjalan mulus,” ujarnya, Jumat (26/09).
Menurut Asratillah, Mardiono mendapat keunggulan struktural berkat dukungan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di berbagai provinsi, khususnya di Sulawesi Selatan. Sebagai partai berbasis jaringan, kekompakan struktur dianggap menjadi sinyal kuat bahwa Mardiono adalah kandidat terdepan.
Selain itu, menguat narasi ideologis ‘tolak figur eksternal’ yang dikampanyekan banyak kader. “PPP ingin menjaga identitasnya agar tetap dipimpin kader tulen. Tapi narasi ini sekaligus menunjukkan trauma lama partai ini mudah terbelah jika dipimpin figur yang dianggap tidak mengakar,” kata Asratillah.
Meski dukungan kepada Mardiono menguat, kontestasi belum sepenuhnya selesai. Nama Agus Suparmanto dan Husnan Bey tetap masuk bursa.
Agus disebut membawa dukungan politik dari figur lama seperti Romahurmuziy, sedangkan Husnan menyiapkan strategi hukum untuk mengawal jalannya muktamar.
“Artinya, kita tidak hanya bicara soal suara di arena, tapi juga legitimasi pasca-muktamar,” tegas Asratillah.
Ia mengingatkan, partai dengan sejarah panjang fragmentasi seperti PPP sangat rentan pecah jika hasil muktamar tidak diterima semua pihak.
“Tantangan terbesar bukan hanya siapa yang terpilih, tapi bagaimana hasilnya bisa diterima sebagai konsensus kolektif,” tambahnya.
Dalam kacamata politik praktis, Muktamar ke-X PPP bukan sekadar perebutan kursi ketua umum, melainkan juga perebutan arah masa depan partai. Jika proses berjalan rapi dan inklusif, PPP berpeluang tampil lebih solid. Namun jika tidak, bayang-bayang fragmentasi lama bisa kembali menghantui.
“Ini uji kelayakan PPP, apakah bisa keluar dari sejarah perpecahan dan menjelma menjadi kekuatan politik Islam yang relevan ke depan,” pungkas Asratillah.
Sebelumnya, gelombang dukungan kepada Mardiono kian nyata. Sebanyak 33 DPW dan DPC PPP dari seluruh Indonesia telah mendeklarasikan penolakan terhadap calon ketua umum dari luar kader, sekaligus menyatakan dukungan penuh untuk Mardiono. Deklarasi tersebut berlangsung di Hotel Sheraton, Jakarta, Kamis (18/09) lalu.
Ketua DPW PPP Sulsel, Imam Fauzan Amir Uskara, memimpin langsung pembacaan deklarasi.
“PPP sejak berdiri pada 1973 tidak pernah dipimpin figur dari luar partai. Kami sepakat mendukung Mardiono sebagai Ketua Umum 2025–2030,” tegasnya.
Khusus di Sulsel, soliditas dukungan terhadap Mardiono terbilang mutlak. Imam Fauzan memastikan, seluruh 39 suara PPP Sulsel sudah dikunci untuk Mardiono. Suara ini berasal dari 24 suara dasar DPC, 1 suara DPW, dan tambahan 14 suara perimbangan berdasarkan kursi DPRD.
“Semua DPC sudah satu suara sejak Muswil beberapa waktu lalu. Tidak ada perbedaan. Pak Mardiono adalah kader tulen yang berproses dari bawah hingga DPP. Beliau punya niat baik untuk membawa PPP kembali ke parlemen pada Pemilu 2029,” tutup Fauzan.