
KabarMakassar.com — Kabar pengunduran diri Prof Nurdin Abdullah dari jabatannya sebagai Ketua Dewan Pakar DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) memunculkan spekulasi besar soal masa depan partai tersebut, khususnya di Sulawesi Selatan (Sulsel).
Mantan Gubernur Sulsel itu dianggap sebagai figur yang memberi nilai tambah signifikan bagi Perindo baik dalam citra, daya tarik publik, maupun pergerakan elektoral di tingkat daerah.
Pengamat politik UIN Alauddin Makassar, Prof Firdaus Muhammad, menilai, absennya figur sebesar Nurdin Abdullah bisa membuat Perindo kehilangan daya dorong politik dan bahkan mengalami stagnasi.
Ia menyebut, partai baru seperti Perindo masih sangat bergantung pada sosok kuat yang mampu menjadi ‘magnet elektoral’.
“Partai seperti Perindo, khususnya di Sulsel, membutuhkan tokoh yang bisa menjadi penarik suara. Tanpa figur seperti itu, partai akan kehilangan arah dan daya jualnya di mata publik,” ujar Firdaus, Jumat (17/10).
Menurut Firdaus, Nurdin Abdullah selama ini berperan sebagai simbol kekuatan moral dan intelektual dalam tubuh partai.
Keberadaannya bukan hanya sekadar posisi formal, tetapi juga membawa kredibilitas akademis yang mampu meningkatkan citra partai di mata masyarakat.
Namun, jika benar Nurdin memutuskan mundur, kata Firdaus, maka Perindo harus segera mencari figur pengganti yang memiliki ketokohan sebanding.
“Kalau tidak ada figur baru yang kuat, partai bisa stagnan. Ini sangat berisiko karena pasca Pemilu 2024, Perindo masih dalam tahap mencari bentuk dan konsolidasi,” ujarnya.
Firdaus mencontohkan, banyak partai politik yang bertahan dan berkembang karena mengandalkan kekuatan figur. Ia menyebut contoh Partai Hanura yang memiliki Mayjen TNI (Purn) Andi Muhammad Bau Sawa Mappanyukki sebagai Ketua DPD Sulsel, dan Partai Nasdem yang sukses memperluas basis lewat strategi merekrut tokoh lintas partai.
“Perindo bisa meniru strategi Nasdem yang menarik kepala daerah atau tokoh masyarakat untuk memperkuat jaringan politik. Tokoh yang punya basis massa kuat akan membantu membangun struktur dan elektabilitas,” lanjutnya.
Ia menilai, Perindo sejauh ini masih belum memiliki identitas politik yang kuat dan mudah dikenali publik.
“PSI misalnya punya branding anak muda. PDIP jelas dengan ideologi nasionalisnya. Nah, Perindo belum punya arah yang spesifik, apalagi tanpa tokoh kuat seperti Nurdin Abdullah,” kata Firdaus.
Dalam konteks politik Sulsel, Firdaus menilai Perindo berpotensi kehilangan momentum jika tidak segera melakukan pembenahan struktur dan strategi komunikasi publik.
Ia menilai, tanpa figur sekelas Nurdin Abdullah, partai ini akan kesulitan menembus dominasi partai besar seperti Golkar, Nasdem, dan PDIP.
“Perindo harus realistis. Partai ini masih mencari pijakan, sementara partai lain sudah punya basis kuat. Kalau tidak segera menemukan figur pengganti, partai akan berjalan di tempat,” ujarnya.
Firdaus juga menyinggung bagaimana PDIP mampu membangun persepsi publik lewat langkah-langkah simbolik, seperti memanggil tokoh besar untuk proses penjaringan calon pemimpin daerah.
Ia mencontohkan, keterlibatan Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan ‘Danny’ Pomanto, dalam proses tersebut menunjukkan bahwa partai besar selalu berupaya menjaga relevansi politiknya melalui tokoh berpengaruh.
“PDIP tetap panggil Danny Pomanto untuk tes wawancara meski belum pasti diusung. Tapi langkah itu membuat PDIP diperbincangkan. Itulah cara menjaga atensi publik. Perindo bisa belajar dari sana,” ujar Firdaus.
Ia menegaskan, dalam politik modern, figur tetap menjadi faktor utama yang menentukan arah dan daya tarik partai. Tanpa sosok dengan reputasi kuat, mesin partai yang bagus pun tidak akan efektif.
“Perindo itu butuh figur seperti Nurdin Abdullah atau tokoh baru yang punya magnet publik. Kalau tidak, partai akan kehilangan daya tarik dan hanya jadi penonton dalam percaturan politik Sulsel,” pungkasnya.