
KabarMakassar.com — Pengamat politik UIN Alauddin Makassar, Prof Firdaus Muhammad, menilai Prof Nurdin Abdullah bukan sosok yang tepat berada di Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Menurutnya, karakter akademis dan gaya kepemimpinan Gubernur Sulawesi Selatan Periode 2018-2023 itu tidak sejalan dengan ritme partai yang menuntut pergerakan cepat dan kerja politik agresif di lapangan.
“Pak Nurdin itu akademisi, konseptor, bukan pekerja partai. Kalau partai butuh orang yang bergerak di lapangan, itu modelnya seperti Ilham Arief Sirajuddin aktivis politik yang terbiasa berjuang dari bawah. Jadi posisi Pak Nurdin seharusnya sebagai pengarah, bukan pelaksana,” ujar Firdaus, Jumat (17/10).
Firdaus menjelaskan, Perindo saat ini masih berada pada fase membangun kekuatan dan konsolidasi pasca Pemilu 2024. Partai semacam itu membutuhkan figur yang aktif turun langsung, menggerakkan struktur, dan memperkuat jaringan politik di akar rumput.
Sedangkan Nurdin Abdullah, kata Firdaus, lebih cocok menjadi sosok pemikir dan konseptor yang merancang arah kebijakan, bukan yang bekerja pada tataran operasional politik.
“Partai seperti Perindo sangat bergantung pada figur lapangan yang bisa menggerakkan mesin politik. Sementara Pak Nurdin adalah sosok yang kuat di ide, bukan di mobilisasi. Jadi ketika beliau berada di posisi Dewan Pakar, itu memang tidak ideal untuk kapasitasnya,” tegasnya.
Firdaus juga menilai bahwa jabatan Dewan Pakar yang pernah diemban Nurdin Abdullah di DPP Perindo sebenarnya tidak memberi ruang strategis untuk berperan besar.
Ia menyebut posisi tersebut cenderung bersifat formalitas tanpa kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan partai.
“Kalau hanya jadi penasehat, beliau tidak bisa mengeksekusi gagasan besarnya. Padahal, Nurdin Abdullah itu tipe konseptor yang kuat dalam ide dan manajemen kebijakan. Jadi secara fungsi, posisi itu tidak maksimal untuk kapasitas beliau,” jelasnya.
Lebih lanjut, Firdaus menilai, dunia politik praktis membutuhkan karakter yang berbeda dengan dunia akademik. Dalam politik, kecepatan manuver, kemampuan komunikasi politik, serta fleksibilitas dalam menghadapi situasi dinamis menjadi kunci utama.
Sementara Nurdin Abdullah dikenal memiliki gaya kepemimpinan yang santun, rasional, dan idealis.
“Beliau itu tipe pemimpin teknokrat, bukan politisi lapangan. Politik itu penuh dinamika dan butuh ketegasan serta kemampuan untuk berkompromi dalam situasi tertentu. Itu yang membuat figur akademisi seperti Pak Nurdin sering kali kurang pas berada di tengah ritme partai,” terangnya.
Firdaus menegaskan, meskipun kehadiran Nurdin Abdullah memberi nilai tambah bagi citra Perindo secara moral dan intelektual, dari sisi politik praktis keberadaannya tidak memberi pengaruh signifikan terhadap penguatan struktur partai.
“Perindo tentu diuntungkan karena punya nama besar seperti Nurdin Abdullah di dalamnya. Tapi secara elektoral dan mesin partai, dampaknya tidak terlalu terasa karena beliau bukan tipe yang terjun langsung menggerakkan lapangan,” katanya.
Firdaus juga menyebut bahwa figur seperti Nurdin Abdullah lebih tepat ditempatkan dalam peran strategis sebagai konseptor kebijakan nasional atau penasehat lintas partai, bukan sebagai penggerak struktural di partai politik tertentu.
“Pak Nurdin itu cocoknya di ruang strategis, bukan operasional. Beliau bisa memimpin lembaga riset kebijakan, think tank politik, atau menjadi penasehat nasional yang memberikan arah pembangunan jangka panjang. Itu lebih sesuai dengan kapasitas beliau,” ujar Firdaus.
Ia menambahkan, politik praktis sering kali membutuhkan keberanian dalam mengambil keputusan cepat, sesuatu yang kadang bertentangan dengan gaya akademik yang analitis dan berhati-hati. Hal itulah yang membuat Nurdin Abdullah dinilai kurang pas berada di lingkungan partai seperti Perindo.
“Kalau akademisi seperti Pak Nurdin masuk ke partai yang struktur dan basisnya masih berkembang, itu bisa menjadi hambatan bagi dirinya sendiri. Karena ritme partai tidak memberi ruang bagi gaya kerja yang berbasis konsep panjang,” ucapnya.
Firdaus menutup dengan menegaskan bahwa setiap figur besar memiliki tempat yang berbeda dalam ekosistem politik. Nurdin Abdullah, dengan reputasi dan ketokohan yang telah terbentuk, sebaiknya ditempatkan pada peran yang sesuai dengan kapasitas intelektual dan nilai-nilai kepemimpinannya.
“Beliau itu aset bangsa, bukan hanya aset partai. Tapi untuk dunia politik praktis seperti Perindo, saya kira itu bukan tempat yang tepat bagi Prof Nurdin Abdullah,” pungkasnya.