
KabarMakassar.com – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Sulawesi Selatan (Sulsel) terus menunjukkan perkembangan modus yang semakin kompleks.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulsel, Jayadi Nas, mengungkapkan bahwa perekrutan tenaga kerja sering terlihat legal di awal, namun berakhir dengan praktik penempatan ilegal yang merugikan korban.
Menurut Jayadi, banyak kasus TPPO bermula dari janji kerja yang tampak meyakinkan. Calon pekerja direkrut dengan proses administrasi yang sesuai aturan, tetapi ketika penempatan berlangsung, kondisi nyata berbeda dari kesepakatan awal. Hal ini menempatkan pekerja dalam posisi rentan terhadap eksploitasi, termasuk kerja paksa dan kekerasan seksual.
“Kadang proses perekrutannya baik, sesuai aturan, tapi pada tahap penempatan, kenyataannya tidak sesuai. Banyak pekerja yang akhirnya terjebak,” ujar Jayadi, Kamis (21/08).
Jayadi memaparkan berbagai modus yang digunakan pelaku, mulai dari kawin kontrak, pernikahan palsu, iming-iming gaji tinggi, hingga dalih ibadah. Strategi ini umumnya menyasar kelompok ekonomi rentan dengan akses informasi terbatas, sehingga mudah terpengaruh bujuk rayu pelaku.
“Ada korban yang dijanjikan bekerja di satu daerah, tapi dibawa ke wilayah lain tanpa sepengetahuan keluarga. Pernikahan kontrak pun sering dijadikan pintu masuk eksploitasi seksual. Banyak modus sejak awal sudah ilegal, tapi tampak sah,” kata Jayadi.
Jayadi menekankan pentingnya pengawasan ketat sejak tahap perekrutan. Pemerintah harus memastikan pendampingan tenaga kerja hingga proses penempatan selesai. Dalam praktik Disnaker, hal ini dikenal sebagai pengantar kerja, yang bertujuan memastikan kondisi lapangan sesuai dengan kesepakatan kontrak.
“Kalau memungkinkan, pemerintah sebaiknya survei lokasi sebelum pekerja berangkat. Ini untuk memastikan kondisi kerja benar-benar sesuai janji,” ujarnya.
Disnakertrans juga mendorong perusahaan perekrut bertanggung jawab penuh. Mitra kerja di luar daerah maupun luar negeri harus jelas legalitasnya dan bebas dari jaringan TPPO. Evaluasi berkelanjutan dianggap kunci agar hak pekerja tetap terlindungi dan hubungan industrial terjaga.
“Pekerjaan yang diterima harus sesuai kontrak, hak pekerja harus terlindungi, dan kondisi mereka terus dipantau,” tambah Jayadi.
Sebagai langkah antisipatif, Pemprov Sulsel tengah merancang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO serta menyiapkan Pergub TPPO 2025-2030. Gugus tugas ini akan menjadi wadah lintas sektor untuk memperkuat pencegahan dan pemulihan korban, khususnya perempuan dan anak.
“Dibutuhkan pendekatan lintas sektor, lintas disiplin, dan lintas wilayah. Gugus Tugas harus dibangun dengan semangat kolaboratif,” kata Sekretaris Daerah Sulsel, Jufri Rahman.
Data Polda Sulsel per November 2024 menunjukkan adanya 36 laporan polisi, 39 tersangka, dan 59 korban. Kasus terbanyak berupa eksploitasi seksual yang terindikasi perdagangan orang. Sulsel, sebagai provinsi strategis di Kawasan Timur Indonesia, berpotensi menjadi daerah asal, transit, maupun tujuan jaringan TPPO.
“Sulsel memiliki kompleksitas tersendiri. Tidak hanya menjadi daerah asal migrasi, tetapi juga daerah transit dan tujuan jaringan perdagangan orang,” pungkas Jufri.