
KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, di Ruang Sidang Pleno MK Selasa (21/10).
Sidang kali ini menghadirkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ahli, dan saksi pemohon untuk memberikan keterangan terkait perluasan definisi disabilitas.
Permohonan Perkara Nomor 130/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh dua penyandang penyakit kronis, Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru. Kedua pemohon menilai hak konstitusional mereka dirugikan karena undang-undang tidak secara eksplisit mengakui penyakit kronis sebagai ragam disabilitas.
Dalam sidang, Anggota Komisi III DPR RI Sari Yuliati menekankan pentingnya asesmen medis dalam menentukan status disabilitas seseorang. Menurutnya, tidak semua penyakit kronis dapat langsung dikategorikan sebagai disabilitas.
“Dokter sebagai tenaga medis yang kompeten memiliki wewenang untuk menilai apakah kondisi penyakit kronis seseorang memenuhi kriteria disabilitas,” kata Sari di hadapan majelis hakim MK.
Ia menambahkan bahwa asesmen harus mempertimbangkan perkembangan gejala, potensi kambuh, serta sifat jangka panjang penyakit yang diderita. Menurut Sari, pembedaan antara penyakit kronis dan disabilitas bersifat mendasar karena tidak semua penyakit kronis menimbulkan keterbatasan fungsional signifikan.
DPR menilai, perluasan definisi disabilitas untuk mencakup kondisi seperti penyakit kronis, autoimun, nyeri kronis, dan kanker berpotensi menimbulkan multitafsir dan menyulitkan implementasi kebijakan perlindungan disabilitas. Sari juga menyarankan agar pedoman kebijakan bagi penyelenggara negara disampaikan melalui kementerian atau lembaga terkait, karena hal tersebut merupakan ranah pembentukan kebijakan, bukan pengujian undang-undang.
Sementara itu, Ahli Pemohon Bahrul Fuad menekankan bahwa konsep disabilitas seharusnya dipahami secara fungsional dan interaksional, bukan semata-mata diagnosis medis. Menurutnya, disabilitas muncul dari interaksi antara keterbatasan individu dengan hambatan lingkungan dan sosial yang membatasi partisipasi dalam masyarakat.
“Disabilitas fisik tidak boleh dibatasi pada gangguan fungsi gerak semata, melainkan mencakup seluruh bentuk keterbatasan fisik termasuk yang tidak tampak atau bersifat episodik yang menghambat partisipasi penuh dalam masyarakat,” ujar Bahrul.
Ia menambahkan bahwa harmonisasi penafsiran undang-undang perlu dilakukan agar tidak kembali pada pendekatan medikalistik, dan pendekatan berbasis fungsi dapat diperkuat dengan instrumen seperti Washington Group Questions (WGQ).
Ahli Pemohon lainnya, M. Joni Yulianto, Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia), menjelaskan bahwa dalam konteks penyakit kronis, persoalan utama adalah dampak penyakit terhadap keterbatasan dan hambatan yang dialami, bukan jenis penyakitnya.
Ia menilai Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 selama ini cenderung membatasi pengertian penyandang disabilitas hanya pada mereka yang memiliki disabilitas fisik, sehingga orang dengan penyakit kronis tidak memiliki ruang untuk menyampaikan hambatan mereka.
“Memasukkan orang dengan penyakit kronis ke dalam cakupan penyandang disabilitas tidak hanya memperluas definisi hukum, tetapi juga memberikan jaminan regulatif bagi mereka,” ujar Joni.
Sidang juga menghadirkan saksi pemohon, Moch Fadel Nooriandi, penyintas Talasemia Mayor, yang menyampaikan pengalaman diskriminasi dan kesulitan dalam dunia kerja akibat kebutuhan transfusi darah rutin serta stigma sosial terhadap kondisinya.
“Saya merasa sebagai penyandang disabilitas yang tidak terlihat. Keterbatasan fisik, kebutuhan medis, serta stigma sosial membuat kami sulit berpartisipasi penuh di sekolah dan tempat kerja,” ujar Fadel.
Sidang lanjutan ini diharapkan dapat menjadi titik penting dalam penafsiran UU Penyandang Disabilitas, khususnya mengenai pengakuan hak bagi penyandang penyakit kronis yang selama ini belum diakomodasi secara eksplisit.