Petani Gugat UU Cipta Kerja, Anggap Aturan Impor Rugikan Produksi Dalam Negeri

2 weeks ago 12
Petani Gugat UU Cipta Kerja, Anggap Aturan Impor Rugikan Produksi Dalam NegeriPemohon Pengujian UU Ciptaker (Dok: Ist)

KabarMakassar.com — Sejumlah organisasi petani dan masyarakat sipil resmi menggugat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan ini diajukan karena mereka menilai sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut mengancam kedaulatan pangan nasional dan merugikan petani dalam negeri akibat memberikan ruang terlalu besar bagi impor komoditas pertanian dan pangan.

Gugatan tersebut diajukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Perkumpulan Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI), Aliansi Petani Indonesia (API), Aliansi Organis Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), serta Perkumpulan FIAN Indonesia (FIAN Indonesia).

Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam Pasal 32 angka 2, Pasal 14 ayat (1) huruf c dalam Pasal 62 angka 2, Pasal 31 ayat (2), serta Pasal 44 ayat (2) dalam Lampiran UU Cipta Kerja. Perkara tersebut terdaftar dengan Nomor 203/PUU-XXIII/2025.

Kuasa hukum para pemohon, Dhona El Furqon, menegaskan bahwa aturan impor komoditas pertanian dalam UU Cipta Kerja tidak memprioritaskan produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Akibatnya, petani merasa tidak mendapat jaminan kepastian hukum maupun perlindungan dari kebijakan impor yang berpotensi menekan harga produk lokal.

“Pengaturan kecukupan kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah dari produksi dalam negeri menjadi tidak prioritas, sehingga petani kehilangan perlindungan dan kepastian hukum,” ujar Dhona dalam sidang pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (06/11).

Menurut Dhona, UU Cipta Kerja menjadikan impor sebagai salah satu prioritas utama penyediaan pangan, sejajar dengan produksi dalam negeri. Padahal, secara prinsip konstitusi, pangan merupakan cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan seharusnya dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, bukan diserahkan pada mekanisme perdagangan bebas.

“Pasal-pasal itu justru menempatkan impor sebagai solusi utama, bukan cadangan terakhir. Ini bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan dan semangat Pasal 33 UUD 1945,” jelasnya.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah menyatakan bahwa pasal-pasal yang mereka uji bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam hal penguasaan negara atas sumber daya pangan. Mereka juga meminta agar MK menafsirkan ulang pasal tersebut sehingga impor komoditas pertanian hanya boleh dilakukan jika produksi nasional dan cadangan pangan pemerintah tidak mencukupi.

Para pemohon juga menggugat pasal mengenai alih fungsi lahan pertanian untuk Proyek Strategis Nasional (PSN), yang mereka nilai membuka peluang penyempitan lahan produktif. Dalam permohonannya, mereka meminta agar MK menegaskan bahwa alih fungsi lahan pertanian hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum dan sesuai peraturan yang berlaku.

Gugatan ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran petani dan pegiat pangan terhadap arah kebijakan pemerintah yang dinilai terlalu bergantung pada impor, terutama untuk komoditas beras, kedelai, gula, dan bawang. Para pemohon menilai, kebijakan tersebut justru melemahkan daya saing petani lokal dan berpotensi menimbulkan ketimpangan struktural antara produsen domestik dan importir besar.

Koalisi petani itu juga menyoroti praktik liberalisasi pangan yang perlahan menggantikan prinsip kedaulatan pangan yang selama ini menjadi mandat konstitusi. Mereka menegaskan, kebijakan impor seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan strategi utama, apalagi jika pasokan domestik sebenarnya mencukupi.

“Kalau impor terus dijadikan solusi pertama, petani kita akan kehilangan insentif untuk meningkatkan produksi. Padahal, ketahanan pangan hanya bisa kuat kalau petaninya sejahtera,” ujar Dhona.

Sidang pendahuluan perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani. Dalam persidangan, majelis memberikan nasihat perbaikan agar pemohon lebih memperjelas hubungan antara kerugian konstitusional para petani dan pasal-pasal yang diuji.

“Saudara Pemohon perlu mengelaborasi penjelasan kerugian hak konstitusional masing-masing dan dihubungkan sebab-akibatnya dengan pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian,” ujar Ridwan Mansyur memberikan nasihat kepada pemohon.

Hakim Saldi Isra juga menegaskan, karena perkara ini merupakan pengujian pertama terhadap isu impor pertanian dalam UU Cipta Kerja, maka Mahkamah memerlukan argumentasi hukum yang lebih komprehensif agar dapat menilai relevansinya dengan prinsip kedaulatan pangan nasional.

“Masih perlu disempurnakan karena ini persoalan yang belum pernah diperiksa Mahkamah. Argumennya harus jelas dan kuat,” kata Saldi.

Mahkamah memberi waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki berkas permohonan, baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy, dan menyerahkannya paling lambat Rabu, 19 November 2025, pukul 12.00 WIB.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news