
KabaMakassar.com — Program Sekolah Rakyat yang diluncurkan Pemerintah Pusat sebagai salah satu solusi jangka panjang pengentasan kemiskinan mulai berjalan sejak awal 2025. Namun, dari data sementara, program ini masih dihadapkan berbagai tantangan serius di lapangan, mulai dari kurangnya pemahaman publik hingga tingginya angka pengunduran diri guru dan siswa.
Kepala Dinas Sosial Sulsel, Abdul Malik Faisal, mengungkapkan, program ini secara nasional ditujukan untuk kelompok masyarakat Desil 1 dan Desil 2, yakni warga dengan tingkat kesejahteraan terendah, merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025.
“Sekolah rakyat adalah program jangka panjang untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Segmennya adalah anak-anak dari keluarga tidak mampu,” kata Malik, Selasa (05/08).
Per tahap awal, Sulawesi Selatan hanya mampu memfasilitasi sekitar 950 siswa pada 8 titik sekolah rakyat yang sudah beroperasi (tahap 1A dan 1B). Padahal, menurut data Data Terpadu Stabilitas Nasional (DTSN), jumlah warga miskin dan hampir miskin (Desil 1–5) di Sulsel mencapai 4,3 juta jiwa dari total populasi 9,6 juta jiwa.
Dengan jumlah penduduk miskin sebesar itu, Malik memperkirakan bahwa butuh lebih dari 10 tahun untuk menjangkau seluruh anak-anak dari keluarga tidak mampu, jika sekolah rakyat hanya berjalan dengan kapasitas saat ini.
“Kalau ini tidak berjalan konsisten, kita tidak akan selesai dalam waktu 10 tahun. Jumlah siswa yang masuk sekarang baru 950, itu pun banyak yang mundur,” jelasnya.
Meski tujuannya mulia, dinamika pelaksanaan program masih jauh dari kata ideal. Malik menyebutkan banyak guru dan tenaga kependidikan mundur karena kurangnya pemahaman terhadap konsep sekolah rakyat, yang mengharuskan mereka tinggal di lokasi dan menjadi wali asrama bagi siswa.
“Banyak guru tidak siap tinggal di lokasi. Mereka harus tinggal bersama siswa, jadi pengasuh juga. Ini belum dipahami sejak awal. Akhirnya banyak yang mundur,” ujarnya.
Dari sisi siswa, kendala juga muncul. Banyak dari mereka berasal dari keluarga dengan kondisi sosial yang sulit. Ada yang mundur karena merasa terpaksa saat direkrut, ada pula yang ditarik kembali oleh keluarganya karena menjadi tulang punggung ekonomi rumah tangga.
“Beberapa anak mundur karena harus bantu orang tua cari nafkah. Ada juga yang tidak tahan aturan, seperti larangan merokok atau hidup disiplin di dalam asrama,” ungkap Malik.
Namun, ia menegaskan bahwa seluruh siswa yang direkrut telah melalui proses verifikasi dan validasi data sosial untuk memastikan mereka benar-benar dari keluarga tidak mampu.
Ia mengklaim bahwa sekolah rakyat adalah investasi jangka panjang negara untuk mengangkat kualitas manusia dari kelompok termiskin. Namun, implementasinya terkesan terburu-buru, tanpa sosialisasi yang cukup.
“Sosialisasi tidak sempat dilakukan secara luas. Rekrutmen dilakukan sambil menjelaskan. Akibatnya, ada yang masuk karena dipaksa, bukan karena sadar pentingnya sekolah,” kata Malik.
Ia menambahkan, secara nasional terdapat lebih dari 50 ribu guru lulusan pendidikan yang menganggur dan telah menyatakan minat menjadi pengajar di sekolah rakyat. Begitu pula siswa cadangan yang jumlahnya diklaim cukup banyak jika ada peserta yang mengundurkan diri.
“Semoga bisa diselesaikan secepatnya karena kita memang sangat butuh pendidikan untuk anak-anak,” tutupnya