Warga dan LBH Makassar di lokasi proyek Tanggul sungai Tello. (Dok: Ist)KabarMakassar.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai proyek pembangunan jalan dan tanggul inspeksi Sungai Tello di Kota Makassar sarat dugaan pelanggaran hukum, khususnya dalam proses pengadaan tanah dan perlindungan hak warga terdampak.
Proyek milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tersebut dinilai tetap dipaksakan berjalan meski status lahan warga belum diselesaikan secara sah.
Kuasa hukum warga dari LBH Makassar, Mirayanti Amin, menyebut bahwa persoalan utama dalam proyek ini bukan semata tidak adanya sertifikat kepemilikan tanah, melainkan penguasaan fisik lahan oleh warga yang telah berlangsung secara turun-temurun selama puluhan tahun.
Menurutnya, fakta tersebut diakui dalam hukum pertanahan dan seharusnya menjadi dasar negara dalam memperlakukan warga terdampak proyek.
“Secara kondisi hukum, warga tersebut sudah mendiami lokasi itu secara turun-temurun. Mereka menguasai dan memanfaatkan wilayah tersebut sebagai mata pencaharian. Pohon nipah di situ tidak tumbuh liar, tetapi ditanam oleh orang tua dan nenek mereka, lalu diremajakan bersama. Dari situ mereka mendapatkan manfaat ekonomi untuk hidup,” ujar Mirayanti Amin dalam keterangan, Rabu (17/12)
Ia menjelaskan, sebagian warga juga tinggal menetap di lokasi tersebut selama puluhan tahun, sehingga secara hukum dikenal adanya hak atas penguasaan fisik. Meski warga tidak memiliki sertifikat atau administrasi kepemilikan sebagaimana diatur negara, penguasaan fisik yang berlangsung lama tetap memiliki kekuatan hukum.
“Memang secara legalitas mereka tidak punya sertifikat, tetapi sudah berpuluh-puluh tahun mereka menguasai fisik tanah itu. Maka seharusnya negara menghadirkan mereka, mendudukkan mereka sebagai warga yang terdampak langsung ketika proyek ini dijalankan, bukan justru mengabaikan keberadaan mereka,” lanjutnya.
LBH Makassar juga mengungkapkan adanya kerugian besar yang dialami warga akibat penebangan tanaman dan penimbunan lahan. Mirayanti menyebut kerugian tersebut tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga menyangkut hak dasar warga atas kehidupan yang layak.
“Total kerugian kami bagi dua. Pertama, tanah mereka terancam hilang dengan nilai lebih dari Rp1 miliar. Kedua, kerugian pendapatan harian dari nipah yang mencapai sekitar Rp350 ribu per hari. Tapi ini sebenarnya tidak hanya soal angka. Ini soal bagaimana negara memandang warganya sebagai individu yang punya hak atas lingkungan hidup, hak atas penghidupan yang layak, dan hak atas tempat tinggal,” jelasnya.
Dari hasil pendampingan hukum, LBH Makassar menduga kuat terdapat pelanggaran serius dalam tahapan pengadaan tanah. Mirayanti menyebut proyek tersebut tetap dipaksakan berjalan di atas lahan yang belum dibebaskan, baik oleh kontraktor maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya, dan Tata Ruang (DSDA CKTR).
“Tanah-tanah itu belum seluruhnya dibebaskan, tapi proyek tetap dipaksakan berjalan. Ada upaya pemaksaan kehendak tanpa melihat kondisi di lapangan. Penolakan warga sejak awal tidak pernah dipertimbangkan,” tegasnya.
Menurut LBH, warga sebenarnya telah membuka ruang dialog dan mediasi sejak awal. Namun, upaya tersebut tidak pernah mendapat respons serius dari pemerintah. Bahkan, kata Mirayanti, warga bersama LBH Makassar baru mendatangi kantor DSDA CKTR Sulsel pada 12 Desember 2025, saat situasi di lapangan sudah memanas.
“Warga tidak pernah dipanggil sejak awal. Kami baru datang ke kantor dinas pada 12 Desember 2025, saat kondisi sudah chaos dan warga harus berhadapan langsung dengan alat berat. Saat itu kami sekaligus mencoba mediasi dengan DPRD Provinsi Sulsel,” ujarnya.
LBH Makassar juga menyoroti kehadiran aparat keamanan di lokasi proyek pada 6 Desember 2025. Menurut Mirayanti, kehadiran aparat berseragam di tengah konflik agraria berpotensi menimbulkan tekanan psikologis bagi warga.
“Kehadiran aparat sering dibungkus dengan alasan pengamanan proyek. Tapi dalam konteks konflik ruang hidup, itu menjadi intimidasi. Warga takut, seolah ketika mempertahankan tanahnya mereka berhadapan dengan negara. Kami menduga kuat kehadiran aparat itu untuk menekan warga agar tidak melakukan perlawanan dan melepas tanahnya,” kata Mirayanti.

















































