Proyek PLTSa Tamalanrea Ditolak Warga, DLH: Tunggu Kepastian Perpres Baru

1 month ago 20

KabarMakassar.com — Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kelurahan Tamalanrea, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, memicu gelombang penolakan dari masyarakat setempat.

Penolakan itu mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi C DPRD Kota Makassar bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan perwakilan warga, di ruang Banggar DPRD, Rabu (06/08).

Sejumlah warga menyampaikan langsung kekhawatiran mereka kepada para legislator dan pejabat dinas terkait. Mereka menolak rencana pembangunan PLTSa jika tetap ditempatkan di kawasan permukiman padat penduduk.

Merespon hal itu, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar, Ferdy Mochtar, menjelaskan bahwa rencana pembangunan PLTSa bukanlah program mendadak. Ia mengatakan, proyek tersebut mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di beberapa kota besar, termasuk Makassar.

“Pembahasan internal sudah dimulai sejak 2019. Saat saya bergabung di DLH pada 2023, proses dan tahapan sudah berjalan dan pembahasan teknis terus dilakukan oleh pemerintah kota,” jelas Ferdy dalam rapat.

Ia menambahkan, puncak dari proses itu terjadi pada 28 September 2024, saat Pemerintah Kota Makassar menandatangani kontrak kerja sama dengan PT SUS sebagai pemenang tender pembangunan PLTSa. Penandatanganan tersebut berlangsung di kantor Kementerian Investasi dan Kemaritiman, dengan melibatkan pemerintah pusat.

Namun, menurut Ferdy, sejak kontrak ditandatangani, tanggung jawab administratif sepenuhnya beralih ke pihak investor sesuai dengan amanat Perpres 35/2018. Pemerintah kota tidak lagi memiliki kewenangan dalam mengurus dokumen administratif lanjutan.

“Setelah penandatanganan kontrak, proses administrasi sudah bukan kewenangan kami. Itu menjadi tanggung jawab penuh dari pihak PT SUS. Pemerintah kota hanya menunggu tindak lanjut dari pemerintah pusat,” kata Ferdy.

Meski demikian, Ferdy mengakui bahwa proyek ini belum bisa dijalankan secara penuh karena belum terbitnya Perpres baru yang akan menjadi acuan penetapan lokasi final pembangunan PLTSa.

“Kami masih menunggu terbitnya Perpres yang baru. Di dalamnya nanti akan diatur lokasi PSEL yang akan menjadi dasar pelaksanaan kontrak. Tanpa itu, kami belum bisa melangkah lebih jauh,” terangnya.

Lebih lanjut, terkait lokasi kata Ferdy hal tersebut tergantung ada beberapa kriteria diantaranya, lokasi tersebut berdekatan dengan sumber.

“Karen proyek ini membutuhkan banyak suplai air jadi harus dibangun dekat sumber air baku,” jelasnya.

Kemudian, proyek ini juga membutuhkan tenaga listrik dan berada di lokasi industri, lokasi saat ini di Tamalanrea tentu menjadi lokasi yang layak untuk direalisasikan protek tersebut.

“Itu kriteria yang dilihat dan memang disana (Tamalanrea), memang terlihat cocok dengan kriteria yang ada,” Pungkasnya.

Sebelumnya, salah satu warga dari Perumahan Alamanda, Kecamatan Tamalanrea, Dadang Anugrah, memberikan penjelasan rinci mengenai lokasi proyek dan ancaman pencemaran yang akan timbul jika pembangunan tetap dilanjutkan.

Menurut Dadang, lokasi pembangunan PLTSa yang direncanakan berada sangat dekat dengan permukiman warga, bahkan hanya sekitar 20 meter dari rumah-rumah penduduk di Perumahan Alamanda, Mula Baru, dan Tamalalang. Dalam paparan visualnya kepada dewan, Dadang menunjukkan peta wilayah dan titik pembangunan yang tepat berada di sekitar pertigaan tol menuju FKS Talasacity.

“Ini bukan asumsi. Kami sudah melihat sendiri rencana pembangunannya. Lahan kosong di sekitar kami akan dijadikan penuh sebagai lokasi pabrik pengolahan sampah,” ungkap Dadang.

Berdasarkan referensi dan informasi yang diperoleh warga dari pihak pengembang, fasilitas PLTSa tersebut akan dilengkapi dengan cerobong asap dari proses pembakaran sampah. Cerobong itu diperkirakan memancarkan polusi dalam radius hingga satu kilometer, yang mencakup kawasan perumahan, sekolah, kantor pemerintahan, dan jalur aktivitas ekonomi warga.

“Kalau ditarik garis dari titik lokasi, radius satu kilometer itu meliputi SMA Negeri 6 Makassar yang siswanya hampir seribu, juga ada TK dan SD. Jaraknya cuma 300 meter dari pabrik. Kantor lurah juga cuma 500 meter. Bayangkan, anak-anak kita setiap hari akan terpapar asap,” kata Dadang.

Ia juga menyebut dampak lainnya yang dirasa sangat mengkhawatirkan adalah pencemaran sumber air. Hampir seluruh warga di kawasan tersebut menggunakan sumur bor sebagai sumber air bersih. Potensi pencemaran air tanah akibat rembesan limbah dari pabrik, terutama saat hujan, menjadi ancaman nyata.

“Kami ini dobel risikonya. Udara tercemar, air pun bisa tercemar. Mayoritas warga pakai sumur bor. Kalau air tanahnya terkontaminasi, bagaimana nasib keluarga kami?” ujarnya penuh tekanan.

Dadang menekankan bahwa penolakan warga bukan karena menolak ide pengolahan sampah secara modern. Sebaliknya, warga mendukung adanya PSEL (Pengolahan Sampah Energi Listrik), namun lokasi yang dipilih harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan keselamatan warga sekitar.

“Kami bukan anti pembangunan. Tapi jangan bangun pabrik pengolahan sampah di tengah-tengah kampung. Ini soal nyawa, soal masa depan anak-anak kami,” tegasnya.

Lebih lanjut, Dadang mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi yang diterima warga, pabrik tersebut akan memiliki kapasitas pengolahan sekitar 1.300 ton sampah per hari dan direncanakan akan beroperasi selama 30 tahun ke depan.

“Bayangkan, 30 tahun kami harus hidup dengan bau dan polusi itu setiap hari. Ini bukan proyek kecil. Dampaknya akan sangat besar dan panjang,” imbuhnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news