 Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin. Dok. Nursinta
Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin. Dok. NursintaKabarMakassar.com — Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menegaskan pihaknya tengah berhati-hati dalam melanjutkan proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik Waste to Energy (WTE) di Tamalanrea.
Diketahui, masyarakat meminta proyek PLTSa dikembalikan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa, Antang.
Hal itu dilakukan untuk menghindari potensi sengketa hukum, termasuk kemungkinan berujung pada arbitrase internasional.
“Kami tidak ingin proyek ini berujung ke arbitrase internasional, Pak. Karena sudah ada dokumen negara yang berjalan. Kami sedang mengkaji dari aspek hukum dan teknisnya,” ujar Appi nama karibnya, Kamis (29/10).
Menurutnya, proyek WTE yang sebelumnya sudah melalui proses tender masih menyisakan persoalan, baik secara administrasi maupun sosial di lapangan. Ia menyebut bahwa proses tender tidak berjalan mulus, diwarnai berbagai reaksi dan penolakan masyarakat, terutama di sekitar lokasi TPA yang berjarak hanya sekitar 10 kilometer dari permukiman warga.
“Saya sudah empat kali didemo masyarakat, gara-gara lokasi TPA ini dekat dengan perumahan. Jadi memang ada reaksi sosial yang perlu kita perhitungkan,” jelasnya.
Selain tekanan sosial, Appi menyoroti pula ketidaktegasan regulasi di tingkat pusat. Ia menyebut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 yang menjadi payung hukum proyek WTE belum cukup tegas, sehingga penerapannya di daerah berbeda sering menimbulkan persoalan teknis.
“Perpres baru muncul bentuknya juga tidak tegas. Kalau kita dipaksa ikut skema yang sama, padahal kondisi teknis kita berbeda, tentu sulit untuk diikuti,” katanya.
Ia menambahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan tidak merekomendasikan pelaksanaan proyek WTE tersebut, namun tetap dijalankan oleh pihak sebelumnya. Kondisi inilah yang kini menjadi dasar Pemkot Makassar melakukan peninjauan ulang terhadap seluruh dokumen dan proses hukum proyek.
“Ini yang kami coba pastikan, supaya langkah kita ke depan tidak menabrak aturan dan punya dasar hukum yang kuat,” tegas Appi.
Sementara itu, persoalan teknis pengelolaan sampah di TPA Antang juga menjadi perhatian utama. Munafri mengungkapkan, volume sampah yang masuk ke TPA kini mulai menurun, berada di bawah 1.000 ton per hari, dengan lebih dari separuhnya berupa sampah organik. Namun kondisi lahan penampungan seluas 19,1 hektare dengan ketinggian timbunan mencapai 17 meter masih menjadi ancaman serius jika tidak segera ditangani.
“Sekarang sekitar 500 ton sampah organik yang setiap hari kita cari solusi pengolahannya. Ini harus segera dihilangkan,” ucapnya.
Ia menegaskan, pemerintah kota kini tengah menjajaki berbagai teknologi pengolahan sampah yang efisien, sekaligus melibatkan komunitas lokal dalam prosesnya.
“Mereka selama ini menanggung bau dan risiko dari tumpukan sampah. Jadi, sudah seharusnya masyarakat dilibatkan dalam solusi,” tambahnya.
Appi juga menyinggung soal kondisi jaringan listrik di Sulawesi Selatan yang menurutnya sudah sangat kuat, dengan kapasitas berlebih (over capacity). Karena itu, ia menilai pendekatan proyek WTE di Makassar tidak bisa disamakan dengan daerah lain yang memang kekurangan pasokan energi.
“Sulsel ini kuat sekali listriknya. Ada PLTU Jeneponto, jaringan PLN besar, bahkan pembangkit di Poso milik Pak JK juga menopang wilayah timur. Jadi kalau proyek WTE diarahkan ke listrik, kita perlu pertimbangkan manfaatnya lagi,” jelasnya.
Meski begitu, Appi memastikan pemerintah kota tetap berkomitmen menuntaskan persoalan sampah melalui solusi yang legal, realistis, dan berkelanjutan.
Ia menyebut telah berkoordinasi dengan sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), untuk mendapatkan dukungan teknis dan pendampingan hukum.
“Kami butuh dukungan dan kajian yang matang untuk menentukan arah penyelesaian TPA. Ini bukan hanya soal proyek, tapi soal tanggung jawab kota terhadap warganya,” tutupnya

















































