Psikolog Zulkarnain Ungkap Akar Homoseksualitas: Dari Pola Asuh hingga Trauma Masa Lalu

1 month ago 22

KabarMakassar.com — Fenomena homoseksualitas di kalangan laki-laki kian terbuka di tengah kemajuan teknologi dan kebebasan berekspresi.

Di berbagai kota besar, termasuk Makassar, komunitas gay semakin mudah ditemukan, baik secara daring maupun di ruang-ruang sosial yang tertutup. Namun di balik keterbukaan itu, masih sedikit yang memahami akar psikologis dan sosial dari orientasi seksual sesama jenis ini.

Makassar sendiri mencatat 454 kasus positif Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) sepanjang Januari hingga Juni 2025. Angka ini muncul dari hasil tracing terhadap 23.311 orang, dari data tersebut mayoritas kasus baru ditemukan pada kelompok lelaki seks lelaki (LSL).

Psikolog Zulkarnain, yang telah lama menangani berbagai kasus konseling perilaku dan relasi sosial, menegaskan bahwa penyebab seseorang menjadi homoseksual tidak tunggal.

“Ada banyak faktor yang bisa mendorong seseorang menyukai sesama jenis. Bisa dari aspek biologis, psikologis, sosial, hingga lingkungan,” ujar Zulkarnain, Sabtu (04/10).

Menurutnya, perubahan hormon dan perkembangan biologis tertentu memang dapat memengaruhi orientasi seseorang. Namun dalam banyak kasus yang ia tangani, pola asuh dan lingkungan keluarga menjadi faktor dominan.

“Ada individu yang awalnya memiliki kecenderungan normal, tapi karena pola asuh di rumahnya tidak suportif, anak menjadi kehilangan konsep diri yang jelas. Lama-lama orientasinya berubah,” jelasnya.

Lingkungan dan Akses Teknologi Membuka Ruang Baru

Zulkarnain juga menyoroti peran besar media dan teknologi dalam memperkuat eksistensi komunitas gay. “Sekarang informasi terbuka lebar. Yang dulu malu atau takut mengaku, sekarang mudah menemukan lingkungan yang menerima,” katanya.

Media sosial dan platform daring bahkan menjadi pintu masuk bagi banyak orang untuk mengenal komunitas sesama jenis. Dari percakapan ringan hingga kegiatan sosial, mereka membangun jejaring yang kadang sulit terdeteksi.

“Ada juga kegiatan positif seperti kampanye kesehatan mental atau bakti sosial. Tapi di sisi lain, itu membuat orang yang awalnya hanya penasaran malah terjerumus,” tambahnya.

Menurut Zulkarnain, sebagian besar dari mereka pernah mengalami trauma masa lalu. Bentuknya bisa berupa pelecehan seksual, kekerasan fisik, atau perundungan yang menimbulkan luka psikologis mendalam.

“Sebagian adalah korban. Ada yang sejak kecil mendapatkan perlakuan salah, lalu tumbuh dengan konsep diri yang kabur,” ungkapnya.

Dalam dunia psikologi modern, homoseksualitas memang tidak lagi digolongkan sebagai gangguan mental. Zulkarnain menyebut rujukan resmi DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) telah menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa.

“Jadi, kalau dulu dianggap penyakit yang bisa disembuhkan, sekarang tidak lagi. Itu sebabnya banyak dari mereka merasa tidak ada yang salah dengan dirinya,” jelasnya.

Namun, pandangan ilmiah ini di sisi lain membuat tantangan baru. “Mereka merasa baik-baik saja, jadi ketika diajak konseling pun bukan untuk berubah menjadi heteroseksual. Biasanya mereka datang karena masalah lain, misalnya patah hati atau kehilangan pasangan,” kata Zulkarnain.

Ia menuturkan, pernah menangani beberapa klien gay yang datang untuk konsultasi emosional, bukan karena ingin berhenti dari perilakunya.

“Mereka juga bisa sangat mencintai pasangannya, sama seperti hubungan hetero. Hanya saja ruang interaksi mereka terbatas. Di situ kadang muncul rasa kehilangan yang berat,” tuturnya.

Ruang Sosial yang Tertutup dan Sulit Dikenali

Fenomena gay, menurut Zulkarnain, sulit diidentifikasi secara kasat mata. Banyak di antara mereka hidup dengan penampilan normal, bahkan berkeluarga.

“Yang tampak kemayu itu hanya sebagian kecil. Sisanya berpenampilan biasa, bahkan cenderung maskulin,” ujarnya.

Beberapa komunitas memiliki struktur sosial seperti kelompok pada umumnya ada arisan, bisnis, dan kegiatan sosial.

“Ada yang aktif di dunia usaha, ada juga yang sering berkumpul di tempat fitness atau gym,” katanya.

Menurutnya, tempat-tempat kebugaran memang menjadi salah satu ruang interaksi karena ada standar fisik tertentu yang dianggap menarik.

“Body goals jadi simbol status di kalangan mereka. Yang berbadan atletis biasanya diasosiasikan sebagai pihak yang dominan,” ungkapnya.

Pendidikan Seksual dan Peran Keluarga

Menjawab bagaimana cara menekan angka homoseksualitas, Zulkarnain menekankan pentingnya pendidikan seksual sejak dini.

“Masalahnya, topik ini masih tabu di rumah tangga kita. Padahal keluarga adalah tempat pertama anak memahami konsep diri dan relasi gender,” tegasnya.

Ia mendorong pemerintah dan masyarakat memperkuat peran keluarga melalui edukasi parenting. “Ibu-ibu PKK, tenaga puskesmas, dan guru bisa dilibatkan dalam program sosialisasi pendidikan seksual yang sehat. Karena di situlah fondasi konsep diri terbentuk,” katanya.

Menurutnya, penyuluhan juga perlu diarahkan pada masyarakat luas agar tidak salah dalam bersikap terhadap individu homoseksual.

“Bukan dijauhi, tapi diberi batas interaksi yang sehat dan aman. Karena banyak juga yang menjadi korban ancaman atau penyebaran foto pribadi saat mencoba keluar dari komunitas itu,” ujarnya.

Bagi mereka yang ingin berubah, Zulkarnain menyebut terapi perilaku kognitif bisa menjadi salah satu pendekatan efektif.

“Tapi kuncinya tetap kesadaran diri. Tidak ada yang bisa diubah kalau individu itu sendiri tidak ingin berubah,” tegasnya.

Menurutnya, sebagian kecil dari klien gay yang ia temui menunjukkan keinginan untuk keluar dari perilaku tersebut. “Ada yang sadar bahwa hidupnya tidak tenang, ingin kembali membangun hubungan normal. Prosesnya panjang, tapi bisa dilakukan,” katanya.

Zulkarnain menekankan bahwa fenomena homoseksualitas bukan semata isu moral, tetapi juga cermin kompleksitas sosial dan psikologis masyarakat modern.

“Kita tidak bisa menyederhanakan persoalan ini. Keluarga, lingkungan, trauma, dan teknologi semuanya punya peran. Tapi solusi utamanya tetap kembali pada kesadaran diri dan pendidikan sejak dini,” tutupnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news