Ramai Anggota DPR Dinonaktifkan Partai, Bawaslu: Masih Bisa Diaktifkan Kembali

1 week ago 7
 Masih Bisa Diaktifkan KembaliIlustrasi Anggota DPR RI yang di Nonaktifkan Partai, (Dok: KabarMakassar).

KabarMakassar.com — Belum lama ini Partai Politik ramai-ramai melakukannpenonaktifan kepada sejumlah anggota DPR RI yang memicu aksi demonstrasi di Indonesia.

Pertama, Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi DPR RI. Kemudian, menyusul Partai Amanat Nasional (PAN) juga mengambil langkah serupa terhadap Eko Patrio dan Uya Kuya, sementara Partai Golkar mencopot Adies Kadir dari jabatan Wakil Ketua DPR RI sekaligus menonaktifkannya sebagai anggota dewan.

Menanggapi fenomena ini, Komisioner Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad, menilai keputusan partai perlu dikaji lebih dalam.

Ia menegaskan, istilah ‘nonaktif’ tidak dikenal dalam Undang-Undang MD3, sehingga secara konstitusional, para anggota DPR yang dinonaktifkan tetap memiliki hak penuh sebagai wakil rakyat.

“Partai politik lebih menggunakan istilah ‘nonaktifkan’, bukan mengganti. Artinya, kelima orang tersebut dapat diaktifkan kembali, bahkan secara konstitusi hak-hak mereka sebagai anggota DPR tetap ada dan tidak hilang,” ujar Saiful dalam keterangannya, Senin (01/09).

Menurutnya, praktik penonaktifan ini berpotensi membuka ruang kesewenangan elit partai. Jika recall dilakukan sepihak oleh partai, lanjut Saiful, hal itu bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi.

“Ini justru akan menjadi pembenaran bagi partai untuk memecat anggota DPR/DPRD yang dianggap tidak sejalan. Kondisi ini jelas merusak nilai dan semangat demokrasi itu sendiri,” tegasnya.

Saiful berpendapat, jika memang diperlukan mekanisme pemberhentian, maka hal itu sebaiknya dilakukan oleh konstituen (pemilih), bukan oleh partai politik secara langsung.

“Kalau mau jujur, pelanggaran etik yang dijadikan alasan pemecatan karena tertangkap kamera berjoget di ruang sidang, tidak lebih berat dari pelanggaran etik dan hukum lain yang tidak tertangkap kamera,” ujarnya.

Ia mengusulkan adanya Dewan Kehormatan Anggota DPR permanen yang memiliki kewenangan mengadili serta memutuskan sanksi, mirip dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dewan ini bisa diisi unsur eksternal dengan keterlibatan perwakilan DPR maksimal seperempatnya, sebagai representasi pemilih.

Lebih lanjut, Saiful menekankan, pemberian kewenangan recall kepada partai hanya relevan jika Indonesia kembali menggunakan sistem proporsional tertutup, di mana anggota DPR dipilih berdasarkan daftar partai. Namun, dalam sistem proporsional terbuka saat ini, anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat.

“Memberi ruang partai politik melakukan recall di sistem terbuka akan bertentangan dengan mandat rakyat. Karena itu, istilah nonaktif yang digunakan partai sejatinya hanya status administratif internal, bukan pencabutan mandat rakyat,” terangnya.

Saiful mencontohkan, pada 2019 lalu di Sulawesi Selatan terdapat dua kader partai yang berhasil meraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Namun, keduanya dipecat oleh partai politik sebelum sempat dilantik sebagai anggota dewan.

“Jika ruang seperti ini dibuka, maka justru akan kontra dengan semangat demokrasi, di mana anggota DPR yang dipilih secara langsung oleh masyarakat justru tidak punya posisi kuat di dalam partai,” tegasnya.

Menurut Saiful, kondisi tersebut menunjukkan lemahnya posisi wakil rakyat terpilih ketika partai tetap bisa menarik mandat yang telah diberikan masyarakat. Hal ini, kata dia, hanya bisa dibenarkan apabila sistem pemilu menggunakan proporsional tertutup.

“Kalau sistem proporsional tertutup, partai memang punya kewenangan penuh untuk mengajukan dan menarik anggotanya di lembaga legislatif. Tapi kalau sistemnya terbuka seperti sekarang, justru rakyat yang seharusnya menentukan,” Pungkasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news