Ilustrasi Aktivitas Belajar Mengajar, (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Polemik pendidikan kembali mencuat di Aceh setelah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat merencanakan penutupan dan penggabungan belasan sekolah dasar.
Kebijakan ini dinilai sebagai upaya efisiensi karena jumlah siswa tidak memenuhi standar minimal, namun menuai kritik keras karena dianggap bisa membatasi akses pendidikan masyarakat pelosok.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Barat, Dr. Husensah, menegaskan bahwa rencana tersebut bukan tanpa dasar. Ia menyebutkan, tujuh sekolah akan ditutup total, sementara empat sekolah lainnya akan digabung dengan sekolah terdekat.
Sekolah yang ditutup mencakup SMP Kubu Capang Sungai Mas, SD Lung Baro Kecamatan Sungai Mas, SD Lango Transmigrasi Kecamatan Pante Ceureumen, SD Krueng Meulaboh, SD Alpen I Kuta Baro, SD Paya Baro, dan SD Cot Buloh Kecamatan Arongan Lambalek.
Adapun sekolah yang akan digabung di antaranya SD Negeri 14 Meulaboh, SDN 25 Meulaboh, SDN 9 Meulaboh, SDN 18 Meulaboh, SDN 15 Meulaboh, SD Peunaga, SD Langung Kecamatan Meureubo, serta SDN 11 dan SDN 17 Meulaboh.
“Proses kajian sudah dilakukan bersama Majelis Pendidikan Daerah (MPD). Namun implementasi teknisnya masih harus diteliti lebih jauh, termasuk penempatan siswa, pembaruan Dapodik, perubahan NPSN, hingga relokasi guru. Semua membutuhkan tahapan panjang dan melibatkan Balai Besar Penjamin Mutu Pendidikan,” jelas Husensah.
Ia menambahkan, langkah tersebut telah memperoleh persetujuan Bupati Aceh Barat meski masih menunggu proses lanjutan di tingkat pusat.
Rencana ini memunculkan keprihatinan dari Anggota Komisi X DPR RI, Andi Muawiyah Ramly (Amure). Ia menilai, penutupan sekolah seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan langkah instan yang justru merugikan anak-anak di pedalaman Aceh.
“Sekolah bukan sekadar ruang belajar, melainkan pusat pembentukan karakter dan masa depan generasi muda. Kalau sekolah ditutup, akses pendidikan makin terbatas, khususnya di pelosok. Ini jelas bertentangan dengan semangat pemerataan pendidikan dalam konstitusi,” ujarnya, Selasa (23/09).
Amure menegaskan bahwa problem kekurangan murid tidak bisa diselesaikan dengan jalan pintas. Menurutnya, Pemkab dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) harus duduk bersama menyusun strategi jangka panjang.
Politisi PKB itu menawarkan sejumlah alternatif solusi. Misalnya, melakukan penggabungan bertahap, meningkatkan kualitas tenaga pendidik, memanfaatkan teknologi digital untuk pembelajaran jarak jauh, hingga memperkuat program afirmasi pendidikan di Aceh.
“Kalau murid sedikit, justru inovasi harus dihadirkan. Bisa dengan sekolah satelit berbasis daring, penugasan guru ASN secara merata ke daerah terpencil, serta beasiswa untuk memastikan anak-anak tetap bersekolah,” tegas Amure.
Ia menambahkan, solusi yang lebih tepat adalah memperkuat fasilitas pendidikan, bukan menutup sekolah. “Ini soal masa depan anak bangsa, jangan sampai kebijakan efisiensi justru melemahkan pendidikan di Aceh,” tegasnya.
Rencana penutupan sekolah ini kini berada di persimpangan. Di satu sisi, pemerintah daerah berusaha menata kembali sistem pendidikan agar lebih efektif dan hemat anggaran. Namun di sisi lain, langkah tersebut berpotensi menimbulkan dampak sosial: jarak tempuh sekolah yang semakin jauh, biaya transportasi meningkat, hingga risiko putus sekolah bagi anak-anak di pedalaman.
Komisi X DPR RI berjanji akan mengawal isu ini di tingkat pusat agar hak pendidikan anak-anak Aceh tetap terjamin. Polemik ini sekaligus menjadi refleksi atas dilema nasional.
“Yaitu bagaimana menjaga efisiensi birokrasi tanpa mengorbankan hak dasar warga negara untuk mengenyam pendidikan,” pungkasnya.


















































