KabarMakassar.com — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diharapkan menjadi kabar gembira bagi dunia pendidikan, ternyata tidak selalu membawa cerita manis bagi semua pihak.
Di balik semangat pemerintah menghadirkan gizi seimbang bagi siswa, para pedagang kecil di kantin sekolah justru menghadapi masa-masa sulit.
Di SMP Negeri 8 Makassar dan SMA 10 Makassar misalnya, beberapa penjual makanan mengaku pendapatan mereka menurun drastis sejak MBG mulai dijalankan. Bahkan, sebagian menyebut omzet harian mereka kini hanya tersisa setengah dari sebelumnya.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMPN 8 Makassar, Nur Aini, mengakui bahwa program MBG memang membawa perubahan besar dalam aktivitas makan siswa di sekolah. Namun, ia menegaskan bahwa tujuan utama program ini bukan untuk mematikan usaha kantin.
“Tujuan MBG bukan untuk menggeser kantin, tapi memastikan anak-anak makan sehat di sekolah,” ujarnya saat ditemui, Jumat (10/10).
Ia menjelaskan, banyak siswa yang datang ke sekolah tanpa sarapan karena orang tua mereka sibuk atau tidak mampu. Program MBG pun hadir untuk menutup celah itu. Namun, Nur Aini tak menampik bahwa sebagian pedagang merasakan dampak ekonominya.
“Kantin tetap beroperasi seperti biasa, tapi memang ada penurunan pembeli karena anak-anak sudah kenyang setelah makan gratis,” ucapnya.
Bagi Pemilik Kantin Sekolah SMP 8 Makassar, Rahman (47), MBG membawa konsekuensi langsung terhadap pemasukan hariannya. Jika dulu ia bisa menjual hingga 50 porsi nasi ayam setiap hari, kini hanya sekitar 15 porsi yang laku.
“Sejak ada MBG, jelas sekali turunnya. Tapi masih ada anak-anak yang beli kalau rasa makanannya kurang cocok dengan yang gratis,” ungkapnya.
Rahman kini mencoba bertahan dengan menjual camilan dan minuman ringan. Meski begitu, penurunan pendapatan membuatnya berpikir panjang tentang masa depan usahanya.
“Kami tidak bisa melawan program pemerintah. Tapi sebaiknya kantin dilibatkan juga sebagai penyedia MBG, supaya tetap ada pemasukan,” tambahnya.
Meski terdampak berat, para pedagang sepakat bahwa program MBG pada dasarnya membawa manfaat sosial besar, terutama bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Namun mereka berharap agar pemerintah tidak menutup mata terhadap nasib ekonomi kecil di sekitar sekolah.
“Programnya bagus, tapi mekanismenya harus diperbaiki. Kantin sekolah seharusnya dilibatkan supaya bisa ikut berperan, bukan sekadar bertahan,” tutup Rahman.
Sementara Wana (30), pedagang lain di SMPN 8 Makassar, mengaku kini hanya bisa menjual beberapa jenis minuman karena sebagian produknya tidak lagi diperbolehkan.
“Sebelumnya bisa dapat dua juta per hari, sekarang tinggal separuhnya. Kami cuma bisa jual minuman saset, tapi itu pun dilarang karena tidak sehat,” keluhnya.
Ia mengaku bingung harus menjual apa lagi agar tetap bertahan.
“Kalau semua dilarang, kami mau jual apa? Padahal anak-anak juga suka beli di kantin kalau tidak cocok dengan makanan MBG,” ucapnya.
Cerita lebih berat datang pengelola kantin sehat di SMAN 10 Makassar Fatma, yang kini tak lagi ramai.
Fatma menuturkan, sebelum MBG diberlakukan, kantinnya ramai oleh siswa yang membeli nasi goreng, mi kering, hingga minuman saset. Kini, hanya sekitar 20 siswa yang datang setiap hari.
“Kalau nanti siswa kelas XI dan XII juga dapat makanan gratis, bisa dipastikan penjualan kami makin turun,” ujarnya.
Meski omsetnya turun tajam, Fatma tetap harus menanggung biaya operasional yang tinggi. Ia merinci, setiap tahun dirinya mengeluarkan lebih dari Rp 5 juta untuk sewa lahan, bangunan, dan listrik.
“Sewa lahan Rp 1 juta per tahun, bangunan Rp 2,7 juta, belum token listrik. Kalau di dalam sekolah, biaya sewa per hari Rp 15 ribu. Di depan bisa sampai Rp 50 ribu,” katanya.
Kondisi itu membuatnya khawatir, selain turunnya pembeli, para pedagang juga menghadapi aturan tambahan berupa larangan menjual makanan instan dan minuman saset. Aturan ini, yang dimaksudkan untuk menjaga kesehatan siswa, justru mempersempit pilihan usaha bagi pedagang kecil.
“Kalau kami dilibatkan menyajikan makanan bergizi, kan semua diuntungkan siswa sehat, kantin hidup, dan ekonomi kecil tetap jalan,” tutupnya.
Program Makan Bergizi Gratis memang menjadi simbol perhatian negara terhadap masa depan anak-anak Indonesia. Namun di balik piring nasi dan lauk bergizi itu, ada kisah perjuangan kecil para pedagang kantin yang kini berjuang mempertahankan dapur mereka tetap mengepul bukan lagi untuk menjual, tapi untuk sekadar bertahan hidup.