Kondisi air sumur di Buntu Matabing. Dok. AndiniKabarMakassar.com — “Kuning Airnya!”, begitu kata Jubdin kepada saya saat menunjuk sumur yang tertutup rapat. Jubdin, bapak berusia 73 tahun itu sesekali mengisap rokoknya. Ia menghela nafas, katanya sudah tujuh tahun sumur itu tak lagi dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti cuci dan memasak. Sumur itu hanya dibiarkan begitu saja, tertutup rapat dan ditinggalkan.
Bukan tanpa alasan, sumur yang dulunya menjadi sumber air bagi kehidupan rumah dengan 10 anggota keluarga didalamnya kini tak dapat lagi dimanfaatkan, warna airnya kuning, mengerak pada sisi wadah yang menampungnya, mengubah warna lantai, pipa hingga keran.
Tomakaka, begitu julukan perangkat adat Buntu Matabing melekat padanya. Jubdin menuturkan, sejak kecil ia dan masyarakat sekitar memikul air dari sungai tak jauh dari rumahnya untuk kebutuhan minum, cuci hingga memasak.
“Air dulu di sungai bisa langsung diminum,” kata Jubdin.
Jubdin mengaku sungai dulunya menjadi sumber utama kebutuhan masyarakat sekitar, hingga akhirnya pada tahun 2007, banjir bandang menghantam sejumlah desa sekitar termasuk wilayah Buntu Matabing dan Minjara yang berada di Kecamatan Larompong Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan.
Banjir bandang tersebut meninggalkan dampak besar bagi masyarakat termasuk menyebabkan sungai tak bisa lagi dimanfaatkan. Sungai mulai dangkal akibat sedimentasi dari lumpur dan pasir yang tersapu oleh banjir, juga ikut tercemar limbah rumah tangga dari desa tetangga. Kondisi ini diperparah dengan posisi sungai yang berada di hilir.

Kondisi air sungai di Buntu Matabing. Dok. Andini
Kasi Kesra Pembangunan Desa Buntu Matabing, Suhardin mengatakan bahwa masyarakat di hulu sungai diduga membuang limbah penyulingan cengkeh ke sungai, mengakibatkan kondisi air sungai menghitam dan menimbulkan rasa gatal apabila terkena kulit.
Suhardin yang juga ditunjuk sebagai pejabat sementara perangkat adat Tomakaka menuturkan bahwa sejak sungai tak bisa lagi dimanfaatkan, masyarakat sekitar beralih ke sumber air sumur. Namun, sumur hal itu tak berlangsung lama. Kondisi air sumur masyarakat sekitar berwarna kuning, utamanya pada musim kemarau.
“Kalau kemarau, air nya berwarna kuning tidak bisa dipakai. katanya banyak zat kapurnya,” tutur Suhardin.
Kini, sumber air masyarakat sekitar bergantung pada Perusahaan Air Minum (PAM). Jubdin yang sehari-hari bekerja sebagai petani harus merogoh kocek hingga Rp150-200 ribu per bulan. Jubdin bahkan mengeluhkan kondisi air PAM yang kadang macet dan tidak mengalir.
Kondisi yang sama juga dihadapi oleh komunitas Masyakarat Adat Minjara, masyarakat telah lama meninggalkan sumber air sungai pasca banjir bandang pada 2007. Namun, air sungai masih dimanfaatkan untuk mangaliri sawah para petani, meski begitu petani sering kali mengeluhkan rasa gatal dan kemerahan akibat air sungai yang tercemar.
Hatibo, masyarakat adat Minjara yang kini hanya tinggal berdua dengan sang istri harus menyetor Rp50 ribu setiap bulannya kepada PAM. Ia tak bisa lagi memanfaatkan air sungai seperti dulu. Katanya, sejumlah pedagang kerap membuang limbah pemotongan ayam.
“(air) sungai tidak seperti dulu nak, penjual ayam potong pasar diatas sering buang (limbah) ke sungai,” kata Hatibo.

Kondisi hutan di Buntu Matabing. Dok. Andini
Plt Kelurahan Larompong, Muniarti menuturkan bahwa kondisi air sungai tak dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Katanya, sungai yang mendangkal dan tercemar akibat aktifitas masyarakat. Sekitar tahun 1985, di hulu sungai dan beberapa Ongko (hutan adat) pohon mulai ditebang dan diambil kayunya. Bahkan, masyarakat juga diduga membuka lahan untuk menanam cengkeh, mengakibatkan wilayah tersebut menjadi langganan banjir setiap tahunnya.
“Tiap tahun disini langganan banjir,” sebut Muniarti
Sementara itu, Suhardin menggambarkan kondisi di Desa Buntu Matabing saat banjir terakhir pada Juni dan Agustus 2025, tiga dusun di desa itu ikut terendam, tambak-tambak ikan milik warga bak lautan, jembatan putus dan tanggul sungai jebol hingga warga megungsi.
Dulu kata Suhardin, banjir dapat diatasi, air yang menggenang cepat terserap dan tidak mengakibatkan banyak kerusakan. Namun kini, musim yang tidak dapat diprediksi, membuat masyarakat kalang kabut saat hujan mengguyur dan mengakibatkan banjir.
“Dulu musim bisa diprediksi, kami prediksi hujan, dulu april hingga agustus hujan, kalau september sampai maret tekadang kemarau. Kalau sekarang sudah tidak bisa diprediksi. Minggu lalu, hujan terakhir. Tahun 2025 Juni-Agustus banjir terakhir, air meluap sampai warga mengungsi,” jelas Suhardin.


















































