
KabarMakassar.com – Persoalan sampah di Kota Makassar kian menekan kapasitas daya tampung Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang.
Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar menargetkan pengurangan sampah organik sebesar 200 ton sepanjang 2025, atau setara 50 persen dari total sampah organik harian yang masuk ke TPA.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar, Helmy Budiman, menjelaskan bahwa timbulan sampah di kota ini sudah mencapai 800 hingga 900 ton per hari. Dari jumlah tersebut, setengahnya adalah sampah organik yang sebetulnya masih bisa diolah.
“Sudah overload. Volume harian yang masuk ke TPA mencapai hampir 900 ton, sehingga kapasitasnya semakin tertekan. Target tahun ini jelas, kita harus kurangi 200 ton sampah organik,” kata Helmy di Balai Kota Makassar, Selasa (16/09).
Sementara itu, Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin alias Appi, mengungkapkan kondisi TPA Antang yang saat ini sudah tidak ideal lagi. Timbunan sampah di lokasi itu telah mencapai 17 meter, dan bila tidak segera diatasi, daya tampung TPA diperkirakan tidak akan bertahan lama.
“Bayangkan, 17 meter timbunan sampah sudah menutup ruang. Jika tidak ada langkah nyata dari sekarang, kapasitas TPA bisa habis,” tegas Appi.
Menurutnya, solusi pengelolaan sampah tidak cukup dengan mengandalkan armada pengangkut. Pemkot kini mendorong strategi pengurangan langsung dari sumber, terutama rumah tangga.
Salah satu langkah yang sedang digencarkan Pemkot Makassar adalah gerakan urban farming berbasis komunitas, yang bukan hanya mengelola sampah organik, tetapi juga menghubungkannya dengan ketahanan pangan.
“Kalau dikelola dengan baik, sampah organik bisa jadi kompos, eco-enzim, atau pakan maggot. Itu bernilai ekonomi sekaligus mengurangi beban TPA. Kita tidak bisa menunggu, semua harus dimulai dari rumah tangga,” jelas Appi.
Ia menambahkan, maggot mampu mengurai sampah organik dalam jumlah besar. Jika setiap rumah tangga di Makassar mengolah sebagian sampah organiknya, tekanan terhadap TPA bisa ditekan hingga ratusan ton per hari.
Program urban farming pertama di Makassar diluncurkan di Bukit Baruga, kawasan berpenduduk sekitar 7.300 jiwa. Program ini digagas oleh Aslam Katutu bersama Prof. Sudirman Numba, Andi Rahman, dan Muliadi Saleh.
Tidak hanya sekadar menanam sayuran di pekarangan, urban farming ini memanfaatkan berbagai sumber daya lokal, termasuk limbah masjid seperti air wudhu untuk penyiraman. Warga juga mulai mengembangkan budidaya sayur, buah, ayam, hingga ikan.
“Urban farming bukan sekadar bertani di lahan sempit. Ini cara membangun kesadaran lingkungan, mengurangi sampah, sekaligus menghasilkan pangan sehat dan bernilai ekonomi,” kata Appi.
Sebagai strategi jangka panjang, Appi mencontohkan model di Belanda yang berhasil membangun industri pertanian berbasis greenhouse. Hampir seluruh produksi tomat di negara tersebut berasal dari sistem rumah kaca yang modern.
“Next step dari urban farming di Makassar adalah greenhouse. Kalau di Belanda bisa menghasilkan produksi besar, kita juga bisa menuju kemandirian pangan perkotaan,” terangnya.
Pemkot Makassar berkomitmen memperluas urban farming ke tingkat RT/RW di seluruh kota. Appi menegaskan, DLH bersama dinas terkait akan memberikan dukungan penuh agar target pengurangan sampah 200 ton di 2025 dapat tercapai.
“Gerakan ini harus diperluas. Dengan partisipasi warga, kita bisa menekan timbunan sampah, menjaga TPA, dan sekaligus memperkuat ketahanan pangan kota,” tutup.