Ilustrasi Pasambe (orang yang mengolah sagu). Dok. AndiniKabarMakassar.com — Deretan kantong merah membalut bagian atas Balabba (sagu yang dipadatkan dan dibungkus daun) tampak saat saya melewati Jalan Poros Trans Sulawesi, tepatnya di Kecamatan Larompong Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Belasan warung-warung kecil menjual sagu yang telah dipadatkan, ada yang dibungkus karung dan juga daun.
“Tidak adami yang bikin disini nak, kami sisa beli saja di pasar,” kata Jubdin. Tomakaka (perangkat adat) Buntu Matabing. Katanya, tradisi Masambe (proses mengolah sagu dari batang pohon hingga menjadi tepung sagu) kini mulai ditinggalkan. Dulu kata Jubdin, masyarakat adat hanya mengkonsumsi sagu dan Sikapa (porang hutan). Pangan lokal itu diolah secara mandiri menjadi tepung, dikumpulkan dan disimpan untuk dikonsumsi dalam jangka panjang. Namun, sejak pertanian mulai masuk, masyarakat sekitar beralih pada beras.
Habitat sagu di Tana Luwu tersebar luas dari dataran tinggi Latimojong hingga pesisir Malangke Barat. Sagu memiliki daya adaptasi tinggi pada cekaman suhu dan intensitas cahaya matahari rendah pegunungan, genangan air sepanjang tahun di rawa, salinitas air garam di lahan pesisir dan tanah masam pada lahan gambut.

Area dan peralatan Masambe (proses pengolahan dari penebangan pohon sagu hingga menjadi tepung). (Dok.Andini)
Sagu tumbuh optimal pada lingkungan dengan ketersediaan air yang cukup di dataran rendah di sempadan sungai, rawa mineral yang tidak tergenang sepanjang tahun. Sagu menjadi salah satu sumber pangan yang tidak terdampak perubahan iklim. Secara alami, sagu membentuk iklim mikro tersendiri sehingga sagu tetap produktif meskipun musim kemarau dan hujan berkepanjangan. Sagu juga menghasilkan generasi yang dapat dipanen secara berkelanjutan.
Hatibo, masyakarat adat Minjara menuturkan dulunya sagu diolah menjadi makanan tradisional kapurung, dange dan sinole. Begitu juga dengan sikapa yang diolah menjadi tepung. Pangan lokal ini menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat adat sekitar. Kini, sikapa tak pernah lagi ditemukan, keberadannya yang tumbuh liar di hutan dan masyarakat yang kini bergantung pada beras menjadi alasan. Lain hal dengan sagu, ketersediannya masih sangat banyak, masih ditemukan di pasar-pasar. Namun, tradisi Masambe kini hanya dikerjakan segelintir orang dan menjadi sumber mata pencaharian.
“Aih, ndak adami (orang yang masambe untuk kebutuhan) nak, sekarang beli di pasar mi,” kata Hatibo.
Jubdin menyebut sagu kini tidak lagi menjadi bahan pokok utama tapi alternatif atau pilihan. Sagu hanya dikonsumsi tiga sampai empat kali dalam seminggu yang diolah menjadi kapurung. Sinole, olahan sagu yang biasanya menjadi santapan pagi hari kini berganti roti dan jajanan kue manis.
“Kapurung enak dimakan ramai-ramai nak, jadi nanti kumpul-kumpul baru kita bikin kapurung,” sebut Jubdin.
Plt Kelurahan Larompong, Muniarti mengungkap alasan pangan lokal sagu mulai ditinggalkan. Katanya, mengolah sagu menjadi kapurung, sinole, dan dange membutuhkan peralatan yang banyak, dikerjakan secara gotong royong dan tidak bisa dikerjakan mandiri seperti memasak nasi. Sehingga kata dia, makanan tardisional tersebut sering kali menjadi sajian silaturahmi atau disajikan saat kumpul keluarga.
“Susah kalau mau dimakan setiap hari, apalagi sudah ada beras sekarang. Cara masaknya itu (kapurung, dange) ribetlah,” kata Muniarti.
Arham, anak bungsu Jubdin mengaku tak terlalu berselera dengan sagu. Sagu menurutnya tidak mengenyangkan seperti nasi.
“Kalau makan kapurung cepat lapar kembali,” sebutnya
Suhardin, Kasi Kesra Pembangunan Desa Buntu Matabing menjelaskan bahwa saat ini ketersediaan pohon sagu tidak lagi seperti dulu. Bukan tanpa alasan, selama ini masyarakat tidak menanam pohon sagu, hanya bergantung pada tunas pohon yang tumbuh dan berkembang sendiri.
“Tidak pernah ada yang tanam sagu, hanya tumbuh sendiri begitu,” ungkap Suhardin.
Tak jauh berbeda dengan sagu, tanaman lain seperti cabai dan sayur yang dulu ditanam sendiri oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kini juga mulai ditinggalkan. Ketergantungan masyarakat adat pada pasar membuat tradisi pangan lokal mulai terkikis.

Area dan peralatan Masambe (proses pengolahan dari penebangan pohon sagu hingga menjadi tepung). Dok Andini
Kondisi pada masyarakat adat Buntu Matabing dan Minjara ini juga dipengaruhi oleh krisis iklim yang terjadi. Cuaca yang tak menentu dan kemarau yang lebih panjang dari musim penghujan menyebabkan masyarakat tak ingin lagi menanam cabai dan sayur secara mandiri. Kemarau panjang mengakibatkan tekstur tanah kering dan mengeras. Cabai dan sayur bahkan layu akibat panas matahari yang menyengat.
Kini, sagu menjadi alternatif pangan dan tradisi masambe mulai ditinggalkan. Pasar yang menjadi pusat kebutuhan masyarakat menjajakan beragam pilihan yang mengikuti arah zaman. Ketergantungan pada beras juga menjadi alasan utama. Padahal, sagu yang sejak dulu merupakan pangan pokok nenek moyang melekat sebagai identitas dan budaya Tana Luwu


















































