Ilustrasi Sertifikat Tanah (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Anggota Komisi II DPR RI, Ujang Bey, mengungkapkan fakta mengejutkan terkait maraknya praktik mafia tanah di Indonesia.
Ia menyebut bahwa sebagian besar konflik pertanahan yang terjadi selama ini justru melibatkan oknum aparat di internal Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Menteri ATR/BPN sendiri menyampaikan bahwa 60 persen konflik pertanahan melibatkan oknum internal BPN. Ini menunjukkan bahwa masalahnya sudah sangat serius dan bersifat sistemik,” kata Ujang Bey, Senin (17/11).
Menurut legislator Partai NasDem itu, mafia tanah kini beroperasi dengan pola yang semakin kompleks. Ia menyebut jaringan mafia tanah bekerja secara terstruktur mulai dari oknum pertanahan, perangkat desa, hingga notaris, dan sering kali didukung kekuatan modal korporasi.
“Biasanya mereka mencari titik lemah aturan pertanahan, lalu menyerang melalui gugatan pengadilan. Ketika modalnya kuat, mereka bisa melawan sengketa dengan lebih agresif,” ujarnya.
Berdasarkan laporan Kompas yang dikutip Ujang Bey, terdapat sekitar 48.000 kasus mafia tanah di Indonesia. Modus operandi yang digunakan sangat beragam, mulai dari pemalsuan dokumen, manipulasi sertifikat, kolusi dengan oknum desa dan notaris, hingga penggunaan gugatan pengadilan untuk menekan pemilik sah.
“Kalau oknum birokrasi sudah menjadi bagian dari jaringan mafia, ini bukan lagi kejahatan sipil. Ini kejahatan sistemik yang meruntuhkan kepercayaan publik terhadap negara,” tegasnya.
Kementerian ATR/BPN mencatat, pada tahun 2023 terdapat 86 kasus mafia tanah yang berhasil diungkap dengan potensi kerugian negara sebesar Rp13,2 triliun. Sinergi lintas lembaga BPN, Polri, dan Kejaksaan terus diperkuat, namun Bey menilai langkah-langkah tersebut belum cukup.
Menurutnya, pemberantasan mafia tanah harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk membongkar jaringan di tingkat desa yang selama ini menjadi pintu masuk utama manipulasi data pertanahan.
Bey menegaskan perlunya pembenahan mendasar pada sistem pertanahan nasional. Ia meminta agar Komisi II DPR mendorong reformasi data pertanahan desa yang terintegrasi dan transparan untuk mencegah potensi kolusi.
“Pemberantasan mafia tanah harus dilakukan dari akar: reformasi birokrasi BPN, perbaikan sistem pertanahan desa, dan transparansi korporasi yang membeli tanah,” papar Bey.
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap pegawai BPN yang rawan disusupi atau bekerja sama dengan jaringan mafia tanah.
Jika tidak ditangani secara sistematis, Bey khawatir praktik mafia tanah akan terus menjadi sumber konflik horizontal, ketidakpastian hukum, dan kerugian negara yang tidak kecil.
Sebagai langkah konkret, Ujang Bey meminta Komisi II DPR mengambil inisiatif legislatif untuk menyusun regulasi baru atau merevisi undang-undang pertanahan.
Tujuannya adalah memperkuat kerangka hukum yang mampu menutup celah kolusi antara oknum pertanahan, aparat desa, dan perusahaan.
“Jangan lagi pengejaran kasus dilakukan satu per satu. Yang harus ditutup adalah celah sistemik yang selama ini dimanfaatkan mafia untuk merampas hak rakyat kecil,” tutupnya.


















































