KabarMakassar.com — UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Makassar mencatat sedikitnya 60 Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) telah mendapat pendampingan sepanjang tahun ini. Sebanyak 53 anak laki-laki, dan sisanya perempuan.
Pendamping Kasus UPTD PPA Makassar, Abu Talib, menyebut kasus-kasus yang ditangani didominasi pencurian, keterlibatan dengan obat-obatan terlarang, hingga perkelahian.
“Yang khusus ABH 60 sekarang. Anak yang berhadapan hukum itu dominan ada yang mencuri, curanmor rata-rata, ada juga narkoba yang agak ringan, terus perkelahian, itu ada,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).
Dia menjelaskan bahwa pendampingan dimulai dari asesmen awal terhadap kebutuhan anak dan keluarganya. Proses ini penting untuk memastikan apa saja dukungan yang harus disiapkan selama anak menjalani proses hukum.
Talib menyebut pemenuhan hak pendidikan menjadi prioritas dalam proses pendampingan. Koordinasi dilakukan bersama sekolah dan pihak kepolisian agar anak tetap bisa mengikuti pelajaran.
“Anak ABH yang di UPTD PPA itu, kalau ada yang sekolah, kita upayakan koordinasi dengan pendidiknya, kepolisian, agar dia tetap sekolah walaupun dalam proses hukum,” katanya.
Dia menambahkan bahwa UPTD PPA juga melakukan home visit bagi anak yang dikembalikan ke keluarga. Kunjungan tersebut bertujuan memastikan penerimaan keluarga dan lingkungan sosial tidak menjadi hambatan bagi pemulihan anak.
“Jadi UPTD PPA itu juga melakukan home visit, kunjungan langsung ke keluarganya untuk melihat secara langsung bagaimana penerimaan keluarga terhadap ABH ini, termasuk juga lingkungan sosialnya, tetangganya dan sebagainya, kita melakukan itu wawancara,” terangnya.
Namun tidak semua kasus dapat dititipkan di UPTD. Ada standar yang harus dipenuhi agar anak bisa ditempatkan sementara dalam pembinaan.
“Kalau kasus berat itu kami tidak terima, kami punya standar, ancaman hukuman 7 tahun ke atas itu kami tidak terima. Kemudian misalnya barang bukti belum kembali, kan biasanya anak-anak mencuri emas dan sebagainya, tapi barang buktinya tidak kembali, kami tidak terima itu dititip di UPTD karena resikonya tinggi, karena kami bukan penjara, kami pembinaan,” ujarnya.
Kendati demikian, untuk kasus berat yang tetap berproses di kepolisian maupun kejaksaan, UPTD PPA masih memberikan pendampingan hukum. Talib menyebut pihaknya memiliki kuasa hukum yang mengikuti proses hingga persidangan.
“Kalau dia masuk diproses hukum, kami tetap melihat perkembangan kasusnya, terus pendampingan hukum, kami punya kuasa hukum di kantor, sampai dengan proses pengadilan, putusan untuk menentukan haknya,” katanya.
Dia menegaskan bahwa seluruh anak yang terlibat perkara tetap diberikan konseling. Menurutnya, banyak dari mereka tidak sepenuhnya dapat disebut pelaku karena turut dipengaruhi faktor pola asuh.
“Iya, semua (diberi konseling). Jadi ABH itu, saya bilang dalam tanda kutip itu, dia bukan sebenarnya pelaku, tapi korban dari orang dewasa, pola asuhnya kah, karena anak itu menjadi cermin dari orang dewasa,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar, drg. Ita Isdiana Anwar mengungkapkan bahwa kasus ABH di Makassar masih menjadi tantangan serius, mengingat kota metropolitan memiliki dinamika sosial yang tinggi.
Dia menilai bahwa anak sebagai pelaku, korban, maupun saksi merupakan kelompok rentan yang membutuhkan perhatian lintas sektor.
Menurutnya, berbagai faktor seperti kurangnya perhatian orang tua, minimnya pendidikan etika, kondisi ekonomi, dan latar belakang pendidikan turut memicu anak terlibat kasus hukum.
Dia menekankan bahwa sebagian besar kasus kekerasan yang menjadikan anak sebagai korban dialami oleh anak perempuan.
“ABH terdiri dari golongan, anak yang melakukan tindak pidana, anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi saksi, permasalahan ABH sudah seharusnya menjadi perhatian khusus Pemeritah Kota Makassar,” ujar Ita.
Dia menegaskan bahwa anak merupakan aset bangsa yang harus dilindungi, dan keterlibatan mereka dalam kasus hukum berarti ada masa depan yang sedang dipertaruhkan.
Pemerintah, kata Ita, tidak boleh melihat anak hanya dari kesalahannya, tetapi sebagai individu yang masih dapat diperbaiki dan dibimbing.
“Anak adalah amanah sekaligus aset bangsa yang harus kita lindungi. Namun realitas di lapangan… menunjukkan masih adanya anak-anak yang berhadapan dengan hukum,” katanya.
Ita menyebut bentuk kasus yang melibatkan anak cukup beragam, mulai dari bullying, pencurian, penyalahgunaan narkotika hingga kekerasan seksual. Kondisi tersebut, menurutnya, menuntut pendekatan yang lebih komprehensif dari semua elemen.
Ita juga menekankan poin penting terkait penguatan perlindungan anak. Dia meminta penanganan ABH mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan memperkuat pendekatan keadilan restoratif.
“Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Pendekatan keadilan restoratif harus terus diperkuat,” tegasnya


















































