Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr. Fahri Bachmid (Dok: Ist).KabarMakassar.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 dinilai membawa dampak langsung terhadap kedudukan anggota Polri yang saat ini menduduki jabatan publik.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr. Fahri Bachmid, menegaskan bahwa putusan tersebut bersifat final dan mengikat, sehingga pemerintah wajib segera menindaklanjutinya dengan langkah kebijakan yang terukur.
“Secara konstitusional, putusan ini langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final mencakup pula kekuatan mengikat final and binding. Dengan demikian putusan MK itu harus ditindaklanjuti sebagaimana mestinya,” ujar Fahri saat dikonfirmasi, Sabtu (15/11).
Fahri menjelaskan bahwa secara doktriner, putusan MK umumnya bersifat prospektif atau berlaku ke depan. Untuk perkara ini, ia menilai putusan tersebut termasuk corak hukum prospektif yang wajib diadopsi dalam reformulasi peraturan perundang-undangan, terutama perubahan terhadap UU Kepolisian.
“Saya berpendapat bahwa status putusan MK dalam Perkara 114/PUU-XXIII/2025 ini termasuk hukum yang berlaku ke depan, prospektif. Dalam konteks perubahan UU Polri, kaidah putusan MK ini wajib diadopsi, sebab telah menjadi ius constitutum atau hukum positif berdasarkan putusan MK. All law is judge-made law,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi ini menuntut pemerintah segera menyiapkan instrumen legal policy untuk mengatur masa transisi bagi anggota Polri aktif yang saat ini masih memegang jabatan publik strategis. Tanpa langkah cepat, ia menilai situasi dapat menimbulkan kerumitan dalam tata kelola pemerintahan.
“Yang harus dipikirkan pemerintah adalah membuat legal policy atau legal rules guna mengatur pranata transisi terhadap keberadaan anggota Polri aktif yang sedang menduduki beberapa jabatan publik existing. Prinsip konstitusionalisme harus dipedomani, tetapi dampak kompleksitas ketatanegaraan juga perlu diminimalkan. Pengaturan transisi ini penting agar tercipta keadaan hukum yang tertib, legal order,” jelasnya.
Fahri juga menekankan bahwa putusan MK ini merupakan mandat konstitusional yang harus diakomodasi oleh Tim Reformasi Polri, terutama dalam penyusunan rencana amandemen UU Polri ke depan.
“Putusan MK ini penting dan mengandung mandat konstitusional, sehingga wajib diakomodir dalam kebijakan reformasi Polri. Ini merupakan pedoman konstitusional, constitutional guidelines,” katanya.
Ia kemudian menyoroti pertimbangan hukum MK yang menegaskan kembali norma Pasal 10 Tap MPR VII/2000 dan Pasal 28 UU 2/2002. Kedua aturan itu secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari kedinasan.
“Secara substansial, kedua ketentuan tersebut menegaskan satu hal penting: anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Rumusan itu expressis verbis, tidak memerlukan tafsir lain,” ucapnya.
MK, Kata Fahri, mengharuskan anggota Polri mundur adalah jabatan yang tidak memiliki keterkaitan dengan fungsi kepolisian.
Fahri menilai bahwa seluruh pertimbangan yuridis MK sejalan dengan desain konstitusional Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan fungsi Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani, serta menegakkan hukum.
“Ini merupakan mandat konstitusional utama untuk Polri dan menjadi landasan bagi fungsi serta kewenangannya dalam menjaga keutuhan bangsa. Polri juga bagian dari sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, Sishankamrata, bersama TNI sebagai kekuatan utama,” tutup Fahri Bachmid.


















































