
KabarMakassar.com — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel) menyoroti insiden kebocoran pipa minyak dari PT Vale Indonesi Tbk, di Kabupaten Luwu Timur. Pihak WALHI menyebut kebocoran tersebut merupakan kategori kejahatan lingkungan.
Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin mengatakan bahwa pihaknya mendesak pemerintah untuk memberi sanksi tegas kepada PT Vale Indonesia Tbk, sebab kebocoran pipa minyak yang berada di Desa Sulhi, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur dinilai dapat mencemari lingkungan.
WALHI mencatat bahwa dampak pencemaran sudah merembet ke sawah, sungai, dan sumber air warga, sehingga pencemaran ini mengancam penghidupan serta kesehatan masyarakat sekitar.
“Banyak masyarakat menghubungi kami dan meminta agar WALHI bersikap tegas terhadap kebocoran pipa minyak di Towuti. Ini momentum kami untuk menyampaikan protes keras terhadap pencemaran lingkungan oleh PT Vale,” kata Al Amin kepada awak media, Selasa (26/08) kemarin.
Amin menerangkan bahwa insiden kebocoran pipa minyak ini bukan kali pertama, kata dia pada 2016, PT Vale pernah tercatat melakukan pencemaran di wilayah pesisir Luwu Timur akibat melubernya sulfur ke pulau-pulau kecil.
“Setiap tahun, PT Vale mendapat penghargaan karena pro lingkungan hidup tapi praktik selalu mencemari lingkungan. Seharusnya, pemerintah tidak pandang bulu pada perusahaan pencemaran lingkungan,” cetusnya.
WALHI mengatakan bahwa kebocoran pipa tersebut dapat mencemari sungai dan sawah masyarakat, sehingga merusak sumber penghidupan warga serta mengancam kesehatan. Oleh karena itu, Amin menegaskan pencemaran ini tidak bisa dianggap sekadar kelalaian teknis, melainkan kejahatan lingkungan yang berdampak ekonomi dan sosial.
WALHI meminta agar Kementerian Lingkungan Hidup melalui Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup turun tangan terhadap kasus ini. Desakan itu juga ditujukan kepada aparat kepolisian agar menindak tegas manajemen PT Vale.
“Sanksi objektif, paling tepat yakni sanksi pencabutan izin lingkungan. Tidak ada lagi ruang kompromi. Negara harus mulai berdiri secara tegak, terutama pada pemanfaatan operasi pipa minyak di Luwu Timur,” terang Amin.
Sementara ini, WALHI mengumpulkan data lapangan untuk memetakan dampak kebocoran, termasuk jumlah petani yang terdampak. Namun, Amin menegaskan bahwa kerugian warga sudah tampak jelas melalui rusaknya lahan pertanian dan tercemarnya sumber air.
“Dampak dari kebocoran pipa itu sudah nyata terlihat, mencemari sungai, mencemari sawah, dan membuat sawah-sawah itu menjadi rusak, mematikan atau menghilangkan kegiatan persawahan yang dilakukan masyarakat karena cemaran minyak tersebut,” ujarnya.
Walhi menilai bahwa kebocoran pipa minyak ini tidak bisa dianggap sekadar kelalaian teknis. Organisasi lingkungan itu menyebut kasus tersebut sebagai kejahatan lingkungan yang harus diproses hukum.
“Saya dengan tegas mengatakan ini masuk kategori kejahatan lingkungan dan PT Vale harus bertanggung jawab secara hukum,” kata Amin.
Menurut Amin bahwa negara diduga tidak pernah bertindak tegas terhadap insiden kerusakan lingkungan yang sering terjadi. Menurutnya, masyarakat yang menyuarakan protes justru dengan mudah terjerat kriminalisasi, sementara PT Vale tidak pernah tersentuh sanksi dari pemerintah.
“Hukum lebih tajam kepada rakyat dibanding kepada perusahaan, pengusaha. Harusnya, tidak ada ampun bagi Vale untuk mendapatkan sanksi. Seharusnya PT Vale yang sudah melakukan pencemaran berkali-kali ini mendapatkan sanksi yang lebih berat yakni pencabut izin lingkungan,” bebernya.
WALHI pun mendesak pemerintah untuk tidak memberi perlakuan istimewa kepada perusahaan tambang itu. Selain pencabutan izin lingkungan, WALHI juga meminta penghargaan Proper Hijau yang pernah diberikan kepada PT Vale dicabut.
“PT Vale sudah mengkonfirmasi pipa itu miliknya. Tidak boleh lagi pemerintah ragu untuk memberikan sanksi terhadap PT Vale. Pencabutan izin lingkungan, pencabutan penghargaan Proper Hijau atas respon pada kebocoran minyak itu,” terangnya.
Amin menjelaskan minyak yang sudah tercampur sulfur, kemungkinan besar berasal dari proses pengolahan nikel dan mengandung bahan kimia berbahaya, sehingga kata dia kebocoran semacam ini tidak bisa dipandang sekadar sebagai kelalaian perusahaan.
“Soal ini kemudian misalnya ada ketidaksengajaan maka ini adalah proses kejatahan lingkungan akibat kelalaian PT Vale terhadap pengelolaan limbah dan infrastuktur limbah,” pungkasnya.