Warga Alamanda Protes Keras Lokasi PLTSa: Hanya 20 Meter dari Rumah

1 month ago 19
 Hanya 20 Meter dari RumahSalah satu warga dari Perumahan Alamanda, Kecamatan Tamalanrea, Dadang Anugrah saat Menampilkan Peta Satelit Lokasi Proyek PSLTSa ke Pemukiman, (Dok: Sinta Kabar Makassar).

KabarMakassar.com — Kekhawatiran warga atas rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di wilayah padat penduduk mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi C DPRD Kota Makassar bersama Dinas Lingkungan Hidup, Rabu (06/08).

Salah satu warga dari Perumahan Alamanda, Kecamatan Tamalanrea, Dadang Anugrah, memberikan penjelasan rinci mengenai lokasi proyek dan ancaman pencemaran yang akan timbul jika pembangunan tetap dilanjutkan.

Menurut Dadang, lokasi pembangunan PLTSa yang direncanakan berada sangat dekat dengan permukiman warga, bahkan hanya sekitar 20 meter dari rumah-rumah penduduk di Perumahan Alamanda, Mula Baru, dan Tamalalang. Dalam paparan visualnya kepada dewan, Dadang menunjukkan peta wilayah dan titik pembangunan yang tepat berada di sekitar pertigaan tol menuju FKS Talasacity.

“Ini bukan asumsi. Kami sudah melihat sendiri rencana pembangunannya. Lahan kosong di sekitar kami akan dijadikan penuh sebagai lokasi pabrik pengolahan sampah,” ungkap Dadang.

Berdasarkan referensi dan informasi yang diperoleh warga dari pihak pengembang, fasilitas PLTSa tersebut akan dilengkapi dengan cerobong asap dari proses pembakaran sampah. Cerobong itu diperkirakan memancarkan polusi dalam radius hingga satu kilometer, yang mencakup kawasan perumahan, sekolah, kantor pemerintahan, dan jalur aktivitas ekonomi warga.

“Kalau ditarik garis dari titik lokasi, radius satu kilometer itu meliputi SMA Negeri 6 Makassar yang siswanya hampir seribu, juga ada TK dan SD. Jaraknya cuma 300 meter dari pabrik. Kantor lurah juga cuma 500 meter. Bayangkan, anak-anak kita setiap hari akan terpapar asap,” kata Dadang.

Ia juga menyebut dampak lainnya yang dirasa sangat mengkhawatirkan adalah pencemaran sumber air. Hampir seluruh warga di kawasan tersebut menggunakan sumur bor sebagai sumber air bersih. Potensi pencemaran air tanah akibat rembesan limbah dari pabrik, terutama saat hujan, menjadi ancaman nyata.

“Kami ini dobel risikonya. Udara tercemar, air pun bisa tercemar. Mayoritas warga pakai sumur bor. Kalau air tanahnya terkontaminasi, bagaimana nasib keluarga kami?” ujarnya penuh tekanan.

Dadang menekankan bahwa penolakan warga bukan karena menolak ide pengolahan sampah secara modern. Sebaliknya, warga mendukung adanya PSEL (Pengolahan Sampah Energi Listrik), namun lokasi yang dipilih harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan keselamatan warga sekitar.

“Kami bukan anti pembangunan. Tapi jangan bangun pabrik pengolahan sampah di tengah-tengah kampung. Ini soal nyawa, soal masa depan anak-anak kami,” tegasnya.

Lebih lanjut, Dadang mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi yang diterima warga, pabrik tersebut akan memiliki kapasitas pengolahan sekitar 1.300 ton sampah per hari dan direncanakan akan beroperasi selama 30 tahun ke depan.

“Bayangkan, 30 tahun kami harus hidup dengan bau dan polusi itu setiap hari. Ini bukan proyek kecil. Dampaknya akan sangat besar dan panjang,” imbuhnya.

Sebelumnya, Ketua RW 05 Kelurahan Bira, Tamalanrea, Akbar Adhy, menjadi perwakilan warga yang paling awal meluapkan curahan hatinya. Di hadapan anggota dewan, ia mengaku datang bukan dengan kapasitas akademik, melainkan dengan beban amanah sebagai wakil warga yang merasa ditinggalkan dalam proses perencanaan proyek PLTSa.

“Saya ini cuma orang kecil, Pak. Pendidikan saya juga tidak tinggi. Tapi saya datang ke sini karena saya membawa suara rakyat. Saya mewakili warga RW 05 yang sampai hari ini bertanya-tanya, kenapa kampung kami yang jadi lokasi pembangunan PLTSa?” kata Akbar.

Ia mengungkap bahwa informasi pertama mengenai proyek itu baru diterima warga pada 29 Mei, bukan dari pemerintah, melainkan dari pihak luar. Ia kemudian bergerak cepat mengumpulkan warga pada 31 Mei, dan dari situlah keresahan bermula.

“Kami sama sekali tidak tahu. Tiba-tiba datang tim bilang mau pasang ini dan itu. Warga kaget, marah. Kami tidak tahu sejarah proyek ini, tidak pernah dilibatkan. Bahkan lurah, camat, anggota dewan di wilayah kami pun tidak pernah sampaikan apa-apa. Jadi ini kenapa tiba-tiba sudah jalan semua?” katanya lirih.

Menurut Akbar, penolakan warga bukan tanpa dasar. Mereka sempat menggelar pertemuan dengan pihak pengembang, PT Sarana Utama Energy (SUS), pada 20 Juni. Namun, alih-alih menjawab kekhawatiran warga, pertemuan itu hanya memperjelas bahwa segala keputusan sudah diambil, proyek sudah disetujui, dan warga hanya bisa menerima.

“Kami merasa tidak dihargai. Baliho penolakan kami pasang sendiri sebagai simbol perlawanan. Karena kalau suara kami tidak didengar, lalu siapa lagi yang bisa menyuarakan nasib kampung ini?” tegasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news