Pemohon Prinsipal Haryanto (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Seorang warga bernama Haryanto resmi mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan ini teregister dengan Perkara Nomor 207/PUU-XXIII/2025, dan telah menjalani sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, di Gedung 1 MK.
Dalam permohonannya, Haryanto menggugat Pasal 4 ayat (1) UU Pajak Penghasilan, yang menyebutkan bahwa:
“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.” dilansir dari laman resmi MK RI, Sabtu (08/11).
Menurut Haryanto, rumusan pasal tersebut terlalu luas dan multitafsir, sehingga sering kali digunakan petugas pajak untuk menekan wajib pajak dengan koreksi yang tidak berdasar. Ia menilai ketentuan itu memberikan celah bagi pemeriksa pajak untuk menafsirkan transaksi secara sepihak, bahkan ketika tidak ada penghasilan nyata yang diterima wajib pajak.
Haryanto mencontohkan praktik yang kerap terjadi dalam pemeriksaan pajak.
Menurutnya, akun piutang dan utang di neraca perusahaan sering dikoreksi oleh petugas pajak dan dikenai pajak atas bunga, padahal dalam perjanjian antara pihak yang bertransaksi sudah jelas tidak ada bunga yang dikenakan.
“Dalam setiap pemeriksaan pajak, sering kali kami bersengketa dengan pemeriksa. Kalau ada tagihan macet, kami dikenakan bunga atas utang, padahal dalam perjanjian tidak ada bunga sama sekali. Ini karena pasal tersebut seolah menafsirkan akan selalu ada penghasilan tambahan,” ujar Haryanto.
Ia menilai praktik tersebut melanggar prinsip kepastian hukum dan keadilan bagi wajib pajak, sebab pajak seharusnya hanya dikenakan atas penghasilan nyata yang diterima, bukan perkiraan atau potensi penghasilan.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa berkas permohonan Haryanto belum memenuhi syarat formil uji materiil sebagaimana diatur dalam ketentuan Mahkamah Konstitusi.
“Permohonan ini perlu disusun ulang agar sesuai dengan format dan ketentuan uji undang-undang di MK,” jelas Enny.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani menilai sebagian substansi permohonan lebih menyerupai pertanyaan administratif yang seharusnya ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bukan Mahkamah Konstitusi.
“Permohonan ini lebih tepat diajukan ke kantor pajak. Namun jika tetap ingin diuji di MK, mohon disesuaikan dengan format permohonan sebagaimana diatur dalam PMK 7/2025,” kata Arsul.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat, selaku ketua panel, juga memberikan saran kepada pemohon agar segera melakukan konsultasi hukum untuk memperbaiki naskah gugatan.
“Pemohon dapat membaca contoh permohonan di laman mkri.id atau meminta bantuan advokat, bahkan bisa juga ke perguruan tinggi yang memiliki lembaga bantuan hukum untuk mendapatkan pendampingan,” ujarnya.
Arief menegaskan bahwa Haryanto diberikan waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya.
Naskah perbaikan harus diserahkan ke Kepaniteraan MK paling lambat Kamis, 20 November 2025 pukul 12.00 WIB. Setelah itu, Mahkamah akan menggelar sidang lanjutan dengan agenda pembacaan perbaikan permohonan.
Meski baru pada tahap awal, kasus ini menarik perhatian karena mengangkat persoalan tafsir atas definisi ‘penghasilan’ dalam hukum pajak Indonesia isu yang kerap menjadi sumber sengketa antara wajib pajak dan fiskus.


















































