Wina Raih Gelar Doktor, Teliti Manajemen Komunikasi Sepak Bola dan Soroti Tragedi Kanjuruhan

7 hours ago 2

KabarMakassar.com — Peneliti muda Universitas Hasanuddin, Andi Widya Warsa Syadzwina (Wina), resmi meraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi setelah mempertahankan disertasinya yang mengupas persoalan manajemen komunikasi dalam industri sepak bola Indonesia.

Sidang promosi terbuka digelar di Aula Prof. Dr. Fachruddin, Sekolah Pascasarjana Unhas, Makassar, Kamis (30/10).

Dihadiri sejumlah tokoh penting, termasuk Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin, mantan Wali Kota dua periode Ilham Arief Sirajuddin, Kepala Dinas Kominfo Makassar Mohammad Roem, serta Asisten I Pemkot Makassar Andi Muhammad Yasir.

Promosi doktor yang dipromotori oleh Prof. Dr. Hafied Cangara, Prof. Dr. Andi Alimuddin Unde, dan Prof. Dr. Tuti Bahfiarti, ini menampilkan disertasi berjudul ‘Komunikasi dan Olahraga: Studi Manajemen Komunikasi Liga Sepakbola Indonesia di Era Digital.’

Wina menyampaikan bahwa tata kelola komunikasi di dunia sepak bola Indonesia masih jauh dari ideal. “Temuan kami selama riset dan partisipasi aktif dalam kegiatan liga sepak bola Indonesia menunjukkan pentingnya komunikasi yang terbuka dan profesional dalam membangun industri sepak bola nasional,” ujarnya.

Menurutnya, industri sepak bola bukan hanya soal pertandingan dan prestasi, tetapi juga soal bagaimana komunikasi dijalankan antara pengelola liga, klub, aparat keamanan, hingga suporter.

“Sepak bola adalah hal penting, tapi belum banyak yang meneliti dari sisi komunikasi, padahal aspek ini sangat menentukan arah pembenahan liga kita,” kata Wina.

Dalam disertasinya, Wina menjadikan Tragedi Kanjuruhan sebagai studi kasus utama tentang lemahnya komunikasi krisis di Liga Indonesia. Ia menyebut tragedi yang menewaskan 135 orang dan bahkan mencapai 250 jiwa menurut data informan lapangan menjadi contoh kegagalan sistemik dalam koordinasi dan transparansi informasi.

“Tragedi Kanjuruhan adalah bukti paling menyedihkan dari gagalnya komunikasi krisis. Tidak ada koordinasi antara panitia, aparat keamanan, dan pihak penyelenggara liga. Informasi tidak jelas, dan publik kehilangan kepercayaan,” tegasnya.

Ia menilai, dalam konteks ini, komunikasi seharusnya menjadi alat pencegah tragedi, bukan pemadam setelah bencana terjadi.

“Suporter adalah hal penting dalam sepak bola. Tanpa mereka, sepak bola hampa. Tapi di sinilah kita sering gagal menjalin dialog,” ujar Wina dengan nada reflektif.

Wina mencontohkan pengelolaan manajemen klub PSM Makassar di bawah kepemimpinan Munafri Arifuddin sebagai praktik komunikasi yang baik antara klub dan suporter.

“Ketika Pak Munafri menjadi direktur, regulasi dan aturan sudah diterapkan. Justru dengan keterbukaan dan kolaborasi bersama suporter, pendapatan meningkat dan sponsor datang. Suporter jangan dijauhi, karena mereka bagian dari ekosistem sepak bola itu sendiri,” jelasnya.

Ia menambahkan, kolaborasi ini menjadi model yang patut dicontoh oleh klub-klub lain di Indonesia. “Manajemen harus berhenti melihat suporter sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra komunikasi. Dengan begitu, konflik bisa dicegah, dan industri sepak bola menjadi lebih sehat,” imbuhnya.

Wina mengakui, penelitiannya berangkat dari keprihatinan terhadap berbagai masalah komunikasi yang selama ini menghambat profesionalisme liga nasional.

“Banyak kebijakan liga tidak tersosialisasi dengan baik. Klub dan suporter seringkali tidak tahu arah kebijakan. Teknologi digital pun belum dimanfaatkan maksimal,” tuturnya.

Ia juga menyoroti lemahnya koordinasi keamanan, ketidakterbukaan dalam penegakan regulasi, serta minimnya transparansi pengelolaan keuangan. “Kalau komunikasi diabaikan, maka industri sepak bola hanya akan terus mengulang kesalahan,” ujarnya.

Wina menegaskan, PSSI harus membangun sistem komunikasi yang strategis dan berbasis transparansi publik. “Liga harus dikelola secara profesional. Komunikasi bukan sekadar hubungan media, tapi jantung dari tata kelola yang sehat,” tegasnya.

Penguji eksternal, Prof. Agus Rusdiana, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), memberikan apresiasi tinggi terhadap disertasi ini. Ia menilai karya tersebut menembus batas disiplin keilmuan yang selama ini jarang disentuh perempuan.

“Baru dua perempuan yang meneliti sepak bola secara mendalam Ratu Tisha dan Wina. Disertasi ini menarik karena multidisiplin dan menyoroti bagaimana digitalisasi memengaruhi citra sepak bola nasional,” ujarnya.

Agus juga menilai riset ini penting untuk mencegah tragedi seperti Kanjuruhan dengan memperkuat komunikasi antara manajemen dan suporter.

“Sepak bola bukan hanya hiburan, tetapi ruang sosial yang sangat dinamis. Butuh komunikasi cerdas agar tidak lagi ada korban,” katanya.

Sementara itu, Prof. Andi Alimuddin Unde mengapresiasi kedalaman analisis dalam penelitian ini. Menurutnya, sepak bola kini telah menjadi bagian dari industri besar yang tak bisa dilepaskan dari aspek komunikasi.

“Kajian seperti ini membuka ruang baru. Sepak bola bukan hanya olahraga, tapi juga fenomena sosial dan ekonomi yang perlu dikaji secara ilmiah,” ujarnya.

Promotor utama, Prof. Hafied Cangara, menambahkan bahwa penelitian Wina menjadi kontribusi akademik penting bagi reformasi sepak bola nasional.

“Manajemen liga yang baik tidak cukup dengan regulasi, tapi juga butuh strategi komunikasi yang efektif dan etis,” katanya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news