
KabarMakassar.com — Fenomena bernama dopamine detox belakangan ramai dibicarakan, terutama di kalangan anak muda yang ingin lepas dari jeratan distraksi digital.
Konsep ini disebut sebagai cara untuk mengatur ulang otak agar kembali fokus dan tidak mudah terdistraksi oleh hal-hal yang instan seperti media sosial, gim, atau video pendek.
Meskipun terdengar seperti metode ilmiah yang kompleks, dopamine detox sebenarnya berasal dari pendekatan terapi perilaku yang dimodifikasi.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Cameron Sepah, seorang psikolog klinis lulusan Harvard yang kini juga berkiprah di Silicon Valley.
Menurut Sepah, dopamine detox bukan berarti benar-benar membersihkan dopamin dari tubuh. Sebaliknya, ini adalah istilah populer untuk menggambarkan usaha membatasi perilaku yang memberi rangsangan instan, agar otak bisa kembali menikmati stimulus sederhana yang biasanya terabaikan.
“Tujuannya bukan untuk menurunkan dopamin, tapi untuk menghentikan perilaku kompulsif terhadap aktivitas menyenangkan yang dilakukan berlebihan,” jelas Sepah dalam wawancaranya kepada Time Magazine.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa terlalu sering mengakses hiburan instan dapat memengaruhi cara kerja sistem penghargaan di otak.
Akibatnya, seseorang bisa menjadi lebih sulit fokus, cepat bosan, dan membutuhkan stimulasi yang semakin tinggi untuk merasa puas.
Dalam konteks ini, dopamine detox menjadi semacam puasa rangsangan, di mana pelakunya menghindari aktivitas seperti scroll media sosial, menonton YouTube, bermain gim, atau bahkan ngemil berlebihan.
Tujuannya adalah untuk memberi jeda agar otak tidak terus-menerus berada dalam kondisi overstimulated.
“Istilah dopamine detox bisa saja menyesatkan, karena tubuh secara alami memproduksi dopamin dan tidak bisa dibersihkan begitu saja,” kata Dr. Anna Lembke, psikiater dari Stanford University dalam artikel Harvard Health.
“Namun, menghentikan perilaku yang menyebabkan kecanduan bisa sangat membantu dalam membangun ulang kontrol diri,” lanjutnya.
Meski begitu, pendekatan ekstrem terhadap dopamine detox bisa membawa risiko tersendiri. Beberapa orang mencoba menjalani detoks selama berhari-hari tanpa teknologi, bahkan tanpa berbicara dengan orang lain.
Pendekatan seperti ini justru bisa berdampak negatif pada kesehatan mental, seperti munculnya rasa kesepian atau cemas berlebihan.
Untuk itu, para ahli menyarankan agar praktik ini dilakukan dengan cara yang lebih realistis. Salah satunya adalah dengan menyusun jadwal harian bebas distraksi selama beberapa jam, memilih satu hari tanpa media sosial, atau mengganti waktu layar dengan kegiatan alternatif seperti membaca, berjalan kaki, atau menulis jurnal.
Dalam artikel di Verywell Mind, terapis berlisensi Aisha R. Shabazz menyarankan pendekatan bertahap dan penuh kesadaran.
Dia menyebut, bahwa yang terpenting bukan berapa lama Anda menjauh dari rangsangan digital, tapi bagaimana Anda mengatur ulang hubungan dengan aktivitas tersebut.
Secara keseluruhan, dopamine detox bukan solusi instan untuk semua masalah digital, tapi bisa menjadi strategi awal untuk membentuk kembali pola hidup yang lebih seimbang.
Dengan pendekatan yang tepat, tren ini dapat membantu seseorang lebih sadar akan kebiasaannya, meningkatkan fokus, dan menikmati kembali hal-hal kecil yang bermakna.