
KabarMakassar.com — Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Slamet, mendesak pemerintah segera merevisi kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi pasar saat ini.
Ia menilai, struktur harga yang diberlakukan justru dapat menciptakan ketimpangan dan merugikan pelaku utama dalam ekosistem pangan nasional, mulai dari petani hingga konsumen.
Menurut Slamet, harga gabah di tingkat petani kini telah menembus Rp7.000 per kilogram angka yang jauh melampaui asumsi dasar penetapan HET saat ini. Sementara itu, harga beras di pasar juga terus melonjak.
Berdasarkan data nasional, harga rata-rata beras premium sudah mencapai Rp16.602 per kilogram, sedangkan beras medium menembus Rp14.317 per kilogram. Padahal, HET yang masih berlaku tercatat sebesar Rp14.900/kg untuk beras premium dan Rp12.500/kg untuk beras medium.
“Kondisi ini jelas menunjukkan ketimpangan. Kalau pemerintah tidak segera menyesuaikan HET, maka petani sebagai produsen utama bisa terus dirugikan, pedagang kesulitan menjaga margin, dan konsumen tetap saja membeli beras dengan harga mahal akibat pasar yang tidak terkendali secara adil,” ujar Slamet, Minggu (20/07).
Slamet mengingatkan bahwa kebijakan pangan, terutama dalam hal penetapan HET, seharusnya responsif terhadap dinamika harga di lapangan. Ia menilai pendekatan yang digunakan pemerintah saat ini belum mencerminkan realitas yang terjadi dalam rantai produksi dan distribusi pangan nasional.
“Penyesuaian HET harus dilakukan secara komprehensif, dengan pendekatan berbasis data dan memperhatikan struktur biaya dari hulu ke hilir. Tanpa itu, yang terjadi hanyalah distorsi harga yang memperbesar kesenjangan antarpelaku usaha,” katanya.
Ia pun menyinggung bahwa selama ini penetapan HET cenderung bersifat top-down tanpa memperhitungkan variabel ekonomi terkini seperti kenaikan harga input produksi, biaya distribusi, dan perubahan pola konsumsi.
Selain menyoroti harga, Slamet juga menegaskan perlunya ketegasan pemerintah dalam mengatasi praktik curang dalam perdagangan beras, seperti pengoplosan antara beras medium dan premium yang kemudian dijual dengan label menyesatkan. Ia menyebut praktik tersebut sebagai kejahatan serius yang merusak kepercayaan publik terhadap pasar pangan.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Mengoplos beras dan menjualnya dengan label palsu adalah bentuk penipuan terhadap konsumen dan menciptakan ketidakadilan dalam pasar. Pemerintah harus memberikan sanksi pidana tegas agar ada efek jera,” tegas Slamet.
Ia meminta penguatan pengawasan distribusi pangan secara menyeluruh, termasuk keterlibatan aktif aparat penegak hukum dalam mengusut dan menindak pelaku pengoplosan yang kian marak.
Politisi PKS tersebut menegaskan bahwa kebijakan pangan yang berkeadilan tidak boleh hanya berpihak pada stabilisasi harga semata, tetapi harus menjamin perlindungan menyeluruh kepada seluruh pihak.
Dalam hal ini, menurutnya, negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa petani tidak dipaksa menjual dengan harga murah, pedagang tidak ditekan dengan batas atas yang tidak realistis, dan konsumen tidak terus-menerus membeli di harga tinggi tanpa perlindungan.
“Semua pihak harus dilindungi secara proporsional. Ini bukan sekadar soal angka, tapi soal keberpihakan politik dan keberanian pemerintah dalam mengatur pasar secara adil,” tegas Slamet.
Ia pun mendorong agar Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, dan pihak-pihak terkait lainnya segera duduk bersama mengevaluasi ulang kebijakan HET yang berlaku, termasuk mempercepat pembaruan regulasi berbasis kondisi aktual.