KabarMakassar.com — Fenomena viral S Line yang ramai di media sosial dalam beberapa pekan terakhir menuai kekhawatiran dari kalangan parlemen.
Anggota Komisi X DPR RI, Andi Muawiyah Ramli (Amure), menyatakan bahwa tren tersebut bukan sekadar hiburan digital semata, melainkan mengandung muatan budaya yang dapat merusak nilai-nilai moral generasi muda Indonesia.
Tren ini berawal dari drama Korea berjudul S Line, yang dirilis pada 11 Juli 2025 dan kini menyebar masif di platform seperti TikTok, Instagram, dan X (sebelumnya Twitter). Dalam serial bergenre thriller dan fantasi itu, muncul elemen visual berupa garis merah yang melayang di atas kepala karakter.
Garis tersebut melambangkan jumlah hubungan seksual yang pernah dijalani seseorang, atau sering disebut ‘body count’. Semakin banyak garis, semakin tinggi angka pengalaman seksual. Bahkan, jika dua orang memiliki garis merah yang terhubung, itu berarti mereka pernah menjalin hubungan intim.
Amure menilai tren yang mengadopsi simbol ini di dunia nyata melalui filter dan pengeditan video sebagai sesuatu yang berbahaya, terutama ketika menjadi konsumsi bebas generasi muda tanpa pemahaman atau filter nilai budaya.
“Fenomena seperti ini bukan sekadar tren kreatif. Ia berpotensi menjadi pintu masuk gaya hidup permisif yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan dan karakter bangsa. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja sebagai tontonan yang ditiru tanpa kontrol,” tegas Amure dalam pernyataan resminya, Minggu (19/7).
Sebagai legislator dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Amure menggarisbawahi pentingnya kehadiran negara dan masyarakat dalam mengawal ruang digital yang kini menjadi salah satu ruang hidup utama anak muda.
Ia meminta agar lembaga pendidikan, tokoh agama, aparat pemerintah, hingga orang tua dapat lebih aktif memantau dan membimbing anak-anak dalam mengonsumsi konten digital.
“Pendidikan karakter tidak hanya tanggung jawab sekolah. Peran keluarga sangat penting. Ketika ruang digital terlalu bebas, anak-anak kita mudah menyerap nilai-nilai luar yang belum tentu sesuai dengan budaya bangsa. Konten bermuatan seksual yang dibalut hiburan seperti ini harus disikapi dengan bijak dan tegas,” jelasnya.
Lebih lanjut, Amure juga mendorong pemerintah melalui kementerian terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), untuk segera mengintensifkan program edukasi digital yang menyasar pelajar, guru, dan keluarga.
“Menutup akses internet bukan solusi. Tapi kita harus membentengi generasi muda dengan literasi digital yang kuat, penanaman nilai agama, dan penguatan peran keluarga. Kalau ini tidak dilakukan, kita akan kehilangan generasi yang tahu bagaimana memilah mana tontonan mendidik dan mana yang merusak,” katanya.
Amure juga mendorong para kreator konten dan komunitas digital untuk menciptakan tren yang lebih positif dan mendidik sebagai tandingan terhadap konten-konten negatif yang kini mendominasi.
“Kita perlu hadirkan tren-tren baru yang membangun, bukan yang mendegradasi. Indonesia punya banyak potensi budaya dan kearifan lokal yang bisa diolah jadi konten kreatif. Tapi semua itu harus didorong, bukan dibiarkan dikalahkan oleh budaya luar yang bebas nilai,” pungkasnya.
Tren S Line memang telah menarik perhatian publik bukan hanya karena daya tarik visual dan konsep uniknya, tetapi juga karena dampak sosial yang ditimbulkan. Banyak pihak, terutama para orang tua dan pendidik, mulai mempertanyakan dampak psikologis dan sosial dari konten seperti ini, khususnya bagi remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri.
Di tengah cepatnya perkembangan dunia digital, pernyataan Amure menjadi pengingat bahwa penguatan karakter dan nilai-nilai moral generasi muda tidak boleh ketinggalan dari laju teknologi. Bukan sekadar melarang, namun membangun kesadaran kritis dalam memilih dan memproduksi konten menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda lagi.