KabarMakassar.com — Kapoksi Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Muhammad Rahul minta anggota PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit, berhenti memanas-manasi publik terkait Kebijakan PPN 12 persen yang diatur dalam UU Nomor 7/2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Bukankah kebijakan ini dibuat di era ketika PDIP menjadi rulling party, partai yang berkuasa di Parlemen,” ujar Rahul secara tertulis, Selasa (24/12).
Sebelumnya, anggota PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit menyebut pemerintah bisa mengusulkan penurunan tarif PPN. Dolfi selaku kader dari PDI Perjuangan (PDIP) selaku pengusul UU HPP, dianggap tidak membaca secara utuh setiap beleid yang termaktub dalam payung hukum tersebut.
“Terkait yang disampaikan oleh Dolfi, sebagai Ketua Panja, dia tidak memahami UU ini, terlihat bahwa pada saat membaca Pasal 7 ayat 3 tapi tidak membacanya di ayat 4 secara tuntas,” terangnya.
Padahal, kata Rahul, di Pasal 7 ayat 4 UU HPP dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) untuk menentukan asumsi PPN dengan rentang tarif 5 sampai 15 persen bisa dibuat atas dasar persetujuan DPR pada tahap pembahasan Rancangan APBN (RAPBN).
“Pemerintah tidak bisa langsung menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP),” jelasnya.
Muhammad Rahul tegas menegur Dolfie agar jangan memprovokasi rakyat seakan-akan pemerintah tidak berpihak pada rakyat padahal UU HPP merupakan produk dari PDIP saat menjadi partai penguasa.
“Mengapa sejumlah politisi PDIP jadi miopi, rabun sejarah, penglihatannya seakan buram, tampil seakan pahlawan di malam gulita, memprovokasi dan mempersoalkan bahkan meminta Presiden Prabowo membatalkan kebijakan PPN 12 persen,” tambah Rahul.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah mengumumkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, bahan kebutuhan pokok tetap bebas dari pungutan PPN.
Keputusan ini disampaikan dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan, kenaikan PPN merupakan amanat undang-undang dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
“Sesuai dengan amanah Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif PPN akan naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025,” ujar Airlangga.
Meski demikian, ia memastikan tarif baru tidak berlaku untuk bahan pokok dan barang kebutuhan penting masyarakat.
“Bahan pokok justru tetap diberikan fasilitas bebas PPN,” tambahnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kebijakan ini tetap akan dijalankan meski ada penolakan. Ia mengungkapkan dua alasan utama, pertama, kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Prabowo menyatakan bahwa pemerintah akan menerapkannya secara selektif hanya untuk barang mewah.
“Kan sudah diberi penjelasan PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan, tapi selektif hanya untuk barang mewah,” jelas Prabowo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (6/12).
Kedua, Prabowo menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk melindungi rakyat kecil. Barang kebutuhan pokok dan barang lain yang tidak tergolong mewah akan tetap bebas dari PPN 12%.
Semenetara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Murtiadi Awaluddin menyoroti pentingnya kejelasan dan pengawasan dalam penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang mewah.
Menurutnya, pemerintah perlu mempertegas kategori barang yang termasuk dalam kelompok mewah untuk menghindari kebingungan dan potensi penyalahgunaan di lapangan.
“Perlu dipertegas apa saja yang masuk kategori barang mewah. Misalnya, mobil dengan kapasitas mesin tertentu, tanah atau rumah berdasarkan ukuran atau lokasi, hingga perhiasan dengan batasan berat tertentu. Standar ini harus dioperasionalkan dengan jelas agar pelaksanaannya tidak bias,” ujar Murtiadi.
Ia juga menekankan pentingnya adanya aturan turunan atau Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pengawasan penerapan PPN barang mewah.
Hal ini diperlukan agar pengawasan di lapangan dapat berjalan efektif dan tidak menimbulkan celah bagi pihak-pihak yang ingin bermain di balik aturan tersebut.
“Pengawasan harus diperketat, dan perlu ada sanksi tegas bagi pelanggar. Jika aturan tidak dikontrol dengan baik, dikhawatirkan akan ada pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi,” tambahnya.
Murtiadi juga menyarankan agar pemerintah gencar melakukan sosialisasi hingga ke daerah-daerah, sehingga masyarakat luas, termasuk di wilayah terpencil, memahami aturan ini.