Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Mardiono, (Dok: KabarMakassar).KabarMakassar.com — Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Mardiono, mengingatkan pentingnya menjaga soliditas partai di Muktamar X.
Ia menegaskan, pengalaman kelam konflik internal yang menimpa PPP pada periode 2014–2019 harus menjadi pelajaran besar agar tidak terulang kembali.
Mardiono mengakui, fase tersebut merupakan konflik terburuk sepanjang sejarah PPP. Saat itu, dualisme kepengurusan melanda hampir di semua tingkatan, mulai dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP), wilayah, hingga cabang. Kondisi tersebut bukan hanya melemahkan konsolidasi internal, tetapi juga menggerus basis massa serta membuat sebagian tokoh meninggalkan partai.
“Media tentu masih menyimpan dokumen-dokumen tentang betapa parahnya konflik PPP pada 2014–2019. Itu masa paling kelam, karena perpecahan terjadi secara masif dan terstruktur. Ada dua kubu di DPP, ada dua kubu di wilayah, bahkan di cabang pun terbelah. Itu tidak mudah, dan kita tidak boleh mengulanginya,” tegas Mardiono, usai membuka membuka Muktamar Ke-X, Sabtu (27/09)
Konflik yang berkepanjangan itu tak hanya menghambat agenda politik PPP, tetapi juga mencoreng citra partai di mata publik. Pertarungan internal berefek langsung pada melemahnya kekuatan PPP di parlemen dan menurunnya elektabilitas di sejumlah pemilu.
Mardiono menilai, momentum Muktamar X harus menjadi titik balik untuk memperkuat persatuan, bukan justru membuka kembali ruang pertikaian lama. “Kalau kita terus membawa trauma masa lalu ke dalam forum tertinggi partai ini, yang rugi adalah umat dan kader yang menaruh harapan pada PPP,” ujarnya.
Sebagai partai berasaskan Islam yang telah mewarnai politik Indonesia sejak era Orde Baru, PPP menurutnya memiliki tanggung jawab moral lebih besar untuk menjaga keutuhan dan menjawab tantangan zaman. Ia mengingatkan bahwa basis tradisional PPP kini menghadapi persaingan ketat dari partai-partai Islam dan berbasis massa Islam lainnya.
“Jangan sampai karena konflik internal, PPP kehilangan jati diri dan semakin jauh dari aspirasi umat, apalagi partai ini hadir dari para ulama, tentu kita memiliki amanah untuk menjaga bersama,” tambahnya.
Berdasarkan catatan, saat itu partai Ka’bah terbelah menjadi kubu Djan Faridz hasil Muktamar Jakarta dan kubu Muhammad Romahurmuziy atau Gus Romy hasil Muktamar Surabaya.
Konflik internal PPP pecah. Elite PPP di bawah kepemimpinan Waketum Emron Pangkapi langsung menggoyang kepemimpinan Suryadharma. Konflik ini memakan korban Suryadharma memecat sejumlah elite PPP, antara lain Waketum Suharso Monoarfa, Sekjen Romahurmuziy, dan empat ketua DPW yang dituding jadi biang kerok ‘pemberontakan’.
Pada 2 November 2014, Djan Faridz terpilih menjadi Ketum PPP menggantikan Suryadharma Ali. Padahal di satu sisi ada pula muktamar PPP di Surabaya yang memenangkan Rohamurmuziy sebagai Ketum PPP.
Menkumham mengembalikan kepengurusan PPP ke hasil muktamar VII Bandung. Kemudian terjadi muktamar islah 2016. Namun Djan Faridz menggugat dan menang di tingkat PTUN. Namun di PTUN dan Kasasi MA, Djan faridz kalah.
Kendati demikian, pada 2018 Djan Faridz mengundurkan diri sebagai Ketum PPP. Djan resmi melayangkan surat pengunduran diri pada Rapat Pleno PPP Muktamar Jakarta yang digelar pada 29 Juli 2018.


















































