KabarMakassar.com — Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulselbar, Darwisman, menegaskan bahwa Sulawesi Selatan memiliki potensi besar dalam mendukung swasembada energi melalui perdagangan karbon. Hal ini dikarenakan Sulsel memiliki ekosistem Gambut dan Mangrove yang merupakan sektor penopang perdagangan karbon.
Ia melihat peluang ini bukan hanya sebagai langkah menuju keberlanjutan lingkungan, tetapi juga sebagai sumber manfaat ekonomi jangka panjang yang dapat mendorong pertumbuhan wilayah.
Menurut Darwisman, perdagangan karbon di Sulawesi Selatan bisa menjadi penggerak ekonomi daerah jika dikelola secara optimal oleh pemerintah.
Bahkan, upaya ini dinilai mampu membantu mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen pada tahun 2025.
Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, yang mengatur perdagangan karbon pada sub sektor kehutanan, gambut, dan mangrove.
Sulawesi Selatan sendiri memiliki potensi besar di dua sub sektor terakhir, yang bisa menjadi modal utama dalam perdagangan karbon.
Data dari Peta Mangrove Nasional (PMN) 2021 menunjukkan bahwa kawasan Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) memiliki total lahan mangrove seluas 1.924.137 hektare atau 57,2 persen dari total nasional.
Di Sulawesi Selatan, luas lahan mangrove mencapai 12.278 hektare. Selain itu, ekosistem gambut Indonesia mencakup 865 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dengan luas 24.667.804 hektare.
Dari jumlah tersebut, wilayah Sulampua memiliki 6.658.457 hektare atau 26,99 persen dari total nasional.
“Potensi besar dari ekosistem gambut dan mangrove di Sulawesi Selatan ini harus dimanfaatkan secara maksimal melalui kolaborasi lintas sektor,” ujar Darwisman.
Ia berharap pemerintah daerah dapat lebih serius melihat potensi ini sebagai peluang strategis. Apalagi, infrastruktur pendukung seperti pasar karbon sudah ada, meskipun transaksi yang dilakukan saat ini masih terbatas.
Contoh konkret dari potensi pasar karbon di wilayah OJK Sulselbar terlihat di sektor energi, dengan kehadiran pembangkit listrik energi terbarukan (EBT) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Likupang di Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Selain itu, sektor limbah juga menjadi bagian penting, dengan keberadaan PT Indonesia Puqing Recycling Technology yang mengelola pabrik daur ulang baterai lithium di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, serta PT Inocycle Technology Group Tbk yang mengelola pabrik daur ulang limbah botol plastik PET di Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Namun, Darwisman mengakui bahwa perdagangan karbon di Sulawesi Selatan masih minim. Hal ini disebabkan oleh rendahnya literasi dan pemahaman pemimpin daerah terhadap potensi kredit karbon yang dimiliki wilayahnya.
Padahal, jika dimanfaatkan dengan baik, perdagangan karbon bisa menjadi sumber pendapatan baru yang signifikan bagi daerah.
Ia menekankan pentingnya edukasi kepada para pemimpin daerah mengenai transaksi perdagangan karbon melalui bursa karbon.
“Literasi perdagangan karbon harus ditingkatkan agar potensi kredit karbon yang ada dapat dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.
Secara nasional, Sejak resmi diluncurkan pada 26 September 2023, bursa karbon di Indonesia telah mencatatkan kemajuan yang signifikan. Hingga November 2024, sebanyak 94 pengguna jasa karbon telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hal ini disampaikan oleh Inarno Djajadi, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, dalam Rapat Bulanan Dewan Komisioner OJK yang digelar secara virtual.
Menurut Inarno, para pengguna tersebut telah memanfaatkan karbon dengan total volume mencapai 906.440 tCO2e. Nilai akumulasi transaksi tercatat sebesar Rp50,55 miliar, dengan rincian kontribusi dari berbagai jenis pasar: 19,83 persen dari pasar reguler, 43,39 persen dari pasar negosiasi, 36,56 persen dari pasar lelang, dan 0,22 persen melalui marketplace.
“Kami akan terus mendukung pengembangan bursa karbon, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki potensi besar,” ujar Inarno.
Ia juga menekankan bahwa potensi bursa karbon di Indonesia masih sangat besar. Hal ini terlihat dari jumlah 4.089 pendaftar yang tercatat di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) serta besarnya peluang unit karbon yang dapat diperjualbelikan.