Punya Catatan NPL Tinggi, Saham Tiga Bank Masuk Pantauan BEI

4 weeks ago 16

banner 468x60

KabarMakassar.com — Tiga bank mencatat rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) yang melampaui rata-rata industri.

Kondisi ini membuat saham ketiganya masuk dalam daftar pemantauan khusus Bursa Efek Indonesia (BEI).

Pemprov Sulsel

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Oktober 2024, rasio NPL gross industri perbankan berada di level 2,20%, sementara rasio NPL net tercatat sebesar 0,77%.

Kredit dalam risiko atau loan at risk (LAR) juga menunjukkan perbaikan dengan turun dari 11,81% pada Oktober 2023 menjadi 9,94%.

Bank pertama yang mencatat rasio NPL tinggi adalah PT Bank of India Indonesia Tbk (BSWD). Per September 2024, rasio NPL gross BSWD mencapai 7,70%, naik 218 basis poin (bps) secara tahunan.

Pada periode yang sama, rasio NPL net juga meningkat menjadi 4,7%, naik 195 bps dibandingkan tahun sebelumnya. Kendati demikian, jika dibandingkan dengan Desember 2022, terjadi penurunan rasio NPL gross dari 9,07% menjadi 6,28% pada Desember 2023.

Saham BSWD yang masuk dalam daftar pemantauan khusus Bursa Efek Indonesia ditandai dengan tato X. Pada perdagangan Jumat (20/12/2024), saham BSWD tercatat melemah 1,7% ke level Rp2.840.

Meski menghadapi tekanan pada rasio kredit bermasalah, Bank of India Indonesia mencatat pertumbuhan laba bersih yang signifikan. Laba bank ini meningkat 66,61% secara tahunan menjadi Rp52,14 miliar, didukung oleh pendapatan bunga bersih yang naik 9,64% secara tahunan menjadi Rp204,46 miliar.

Bank kedua, PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS), juga memiliki rasio NPL di atas rata-rata industri. Per September 2024, rasio NPL gross BMAS tercatat sebesar 3,79%, naik 111 bps dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Rasio NPL net BMAS mencapai 2,98%, naik 71 bps secara tahunan.

Seperti BSWD, saham BMAS juga masuk dalam daftar pemantauan khusus BEI dengan tanda tato X. Pada perdagangan hari yang sama, saham BMAS tidak mengalami pergerakan dan bertahan di level Rp595 tanpa transaksi.

Dari sisi kinerja keuangan, BMAS mencatat laba bersih sebesar Rp55,47 miliar, meningkat 11,12% secara tahunan. Meski pendapatan bunga bersih perusahaan naik signifikan sebesar 44,4%, peningkatan beban akibat kerugian penurunan nilai aset keuangan membebani performa bank ini.

Bank ketiga, PT Bank Pembangunan Daerah Banten (Perseroda) Tbk. (BEKS), mencatat rasio NPL gross tertinggi di antara ketiganya. Per September 2024, rasio NPL gross BEKS mencapai 9,86%, naik 49 bps dibandingkan tahun lalu.

Rasio NPL net juga meningkat 38 bps menjadi 1,83%. Saham BEKS, yang juga masuk dalam daftar pemantauan khusus BEI, tidak menunjukkan pergerakan pada perdagangan Jumat (20/12/2024) dan bertahan di level Rp30 dengan transaksi sebanyak 52.700 lot.

Kinerja keuangan BEKS menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Meski laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik masih nihil pada September 2024, hal ini lebih baik dibandingkan dengan kerugian bersih Rp14,52 miliar yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu.

Pendapatan bunga bersih BEKS mengalami penurunan sebesar 14,56% secara tahunan menjadi Rp128,49 miliar, namun beban perusahaan turun signifikan sebesar 44,74%, membantu mengurangi tekanan terhadap kinerja bottom line bank ini.

Ketiga bank ini menunjukkan tantangan besar dalam menjaga kualitas kredit di tengah perbaikan yang terjadi di tingkat industri perbankan. Rasio kredit bermasalah yang tinggi dan status saham yang masuk daftar pemantauan khusus menjadi perhatian utama para investor.

Disisi lain, Bursa Efek Indonesia (BEI) akan resmi menghapus pencatatan (delisting) sepuluh emiten dari pasar saham pada 21 Juli 2025.

Langkah ini diambil sebagai bagian dari kebijakan untuk menjaga integritas pasar modal.

Berikut daftar 10 emiten yang akan dihapus:

PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI)

PT Forza Land Indonesia Tbk (FORZ)

PT Hanson International Tbk (MYRX)

PT Grand Kartech Tbk (KRAH)

PT Cottonindo Ariesta Tbk (KPAS)

PT Steadfast Marine Tbk (KPAL)

PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS)

PT Nipress Tbk (NIPS)

PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX)

PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW)

Dari sepuluh emiten ini, delapan di antaranya akan dihapus karena dinyatakan pailit. Dua lainnya, yaitu PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX) dan PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW), dihapus karena dianggap tidak mampu mempertahankan kelangsungan usaha. Selain itu, kedua saham tersebut juga telah mengalami suspensi perdagangan selama lebih dari dua tahun terakhir.

Dua Emiten yang Terdampak Kondisi Usaha
PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW) mencatatkan kondisi usaha yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data RTI, emiten ini tidak lagi membukukan pendapatan sejak awal 2022, menunjukkan bahwa aktivitas usahanya praktis terhenti.

Sementara itu, PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX) terus merugi selama lebih dari satu dekade. Catatan kerugian konsisten dimulai sejak kuartal kedua tahun 2014, tanpa ada tanda-tanda pemulihan hingga saat ini.

Delisting: Langkah Akhir bagi Emiten Bermasalah
Delisting adalah langkah yang tidak hanya berpengaruh pada perusahaan tetapi juga pada investor. Setelah delisting, saham perusahaan tidak lagi dapat diperdagangkan di pasar reguler, sehingga likuiditas saham menjadi nol.

BEI menegaskan bahwa kebijakan ini dilakukan untuk melindungi kepentingan pasar secara keseluruhan. Emiten yang tidak mampu menjaga keberlanjutan bisnis dan terus-menerus gagal memenuhi kewajiban sebagai perusahaan terbuka tidak dapat dibiarkan menciptakan risiko tambahan bagi pasar modal.

Dengan delisting ini, investor diharapkan semakin berhati-hati dalam memilih saham untuk investasi. Kinerja fundamental yang buruk, beban utang tinggi, atau risiko kebangkrutan adalah sinyal yang harus diwaspadai sejak awal.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news