KabarMakassar.com — Nilai tukar rupiah kembali tertekan pada penutupan perdagangan Selasa (29/10), ditutup melemah di level Rp15.760 per USD. Pelemahan ini terjadi seiring dengan menguatnya imbal hasil obligasi pemerintah AS yang didorong oleh meningkatnya ekspektasi pasar akan pemangkasan suku bunga lebih lanjut oleh Federal Reserve (The Fed).
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) dari Bank Indonesia (BI) mencatat penutupan rupiah pada Rp15.760 per USD, melemah dibandingkan pembukaan di level Rp15.729 per USD.
Sepanjang hari, nilai tukar rupiah berfluktuasi pada rentang Rp15.720 hingga Rp15.777 per USD, mencatat pelemahan sebesar 0,22% pada akhir perdagangan.
Penurunan ini tercatat sebagai pelemahan terdalam sejak pertengahan Agustus 2024, ketika rupiah sempat menyentuh posisi Rp15.830 per USD. Indeks dolar AS (DXY) juga tercatat melemah tipis 0,02% ke angka 104,294, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan penutupan pekan lalu pada 104,316.
Imbal Hasil Obligasi AS Melonjak di Tengah Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga The Fed
Pelemahan rupiah ini tidak terlepas dari kenaikan imbal hasil obligasi AS yang mencerminkan peningkatan ekspektasi pasar terhadap kebijakan moneter The Fed. Imbal hasil obligasi pemerintah AS dengan tenor 10 tahun meningkat lebih dari dua basis poin, mencapai level 4,3043%.
Imbal hasil untuk obligasi tenor 2 tahun juga naik kurang dari satu basis poin menjadi 4,1435%, mempertahankan posisinya di level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir.
Investor memantau kenaikan ini sebagai indikator bahwa The Fed akan mengambil langkah lebih lanjut untuk menurunkan suku bunga, setelah sebelumnya memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin pada pertemuan September lalu, yang menjadi awal dari siklus pelonggaran kebijakan pertama dalam empat tahun terakhir.
Kenaikan imbal hasil obligasi ini menandakan tingginya minat terhadap surat utang AS, yang membuat nilai USD semakin kuat dan membebani mata uang negara berkembang seperti rupiah.
Pasar Tunggu Rilis Data Ekonomi AS dan Kebijakan The Fed
Selain faktor obligasi, sentimen negatif juga dipengaruhi oleh penantian rilis data ekonomi AS yang diharapkan memberikan petunjuk bagi arah kebijakan The Fed.
Dalam beberapa hari ke depan, beberapa indikator ekonomi utama AS akan dipublikasikan, termasuk laporan lowongan pekerjaan JOLTS, data keyakinan konsumen, data harga rumah, serta laporan penggajian swasta ADP dan angka ketenagakerjaan Oktober yang sangat dinanti.
Data ini diharapkan dapat memberikan gambaran terbaru tentang kondisi ekonomi AS dan prospek inflasi, yang menjadi fokus utama bagi The Fed dalam menetapkan suku bunga.
Di sisi lain, pekan ini juga dijadwalkan rilis indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi terbaru yang merupakan indikator inflasi yang disukai oleh The Fed.
Investor akan mencermati data ini dengan saksama untuk mendapatkan petunjuk lebih lanjut tentang prospek kebijakan moneter ke depan.
Berdasarkan perangkat FedWatch CME Group, terdapat probabilitas sebesar 98,4% bahwa suku bunga The Fed akan dipangkas menjadi 4,5%-4,75% pada pertemuan 7 November mendatang.
Jika demikian, ini akan menjadi langkah pemangkasan kedua setelah The Fed memulai siklus pelonggaran pada September lalu.
Ketidakpastian Politik di Jepang Picu Sentimen Pasar, Bebani Rupiah
Selain faktor dari AS, pasar keuangan Indonesia juga terpengaruh oleh ketidakpastian politik di Jepang. Hasil pemilu 27 Oktober lalu menunjukkan bahwa Partai Liberal Demokratik (LDP) kehilangan mayoritas parlemen, sebuah peristiwa yang jarang terjadi sejak 2009.
Situasi politik yang tidak menentu ini diperkirakan dapat menghambat kebijakan Bank of Japan (BOJ) dalam menaikkan suku bunga, meskipun pelemahan yen tetap menjadi perhatian. Ketidakstabilan ini meningkatkan kekhawatiran investor dan turut memberi tekanan pada rupiah, yang menjadi rentan terhadap dinamika mata uang di negara-negara maju.
Penantian Data Ketenagakerjaan AS Tambah Tekanan, Sentimen Pasar Lebih Cenderung Negatif
Penantian pasar terhadap data ekonomi AS semakin menambah tekanan bagi rupiah. Pasar akan mencermati laporan terbaru dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS mengenai jumlah lowongan pekerjaan di sektor non-pertanian, yang akan dirilis dalam waktu swkat. .
Untuk periode Agustus 2024, jumlah lowongan pekerjaan tercatat meningkat 329.000 menjadi 8,04 juta, dengan kenaikan signifikan di sektor konstruksi dan pemerintahan, meskipun sektor layanan mencatat penurunan 93.000 lowongan.
Namun, proyeksi terbaru pasar memperkirakan penurunan jumlah lowongan pekerjaan AS menjadi 7,92 juta, yang kemungkinan dapat mempengaruhi pergerakan USD.
Data indeks kepercayaan konsumen yang diprediksi sedikit meningkat dari 98,7 menjadi 98,8 juga menjadi perhatian pasar, mengingat angka ini seringkali digunakan sebagai indikator awal dalam proyeksi belanja dan pertumbuhan ekonomi.
Secara keseluruhan, rupiah menghadapi tekanan berat dari sentimen global, khususnya dari ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed, fluktuasi nilai obligasi AS, serta ketidakpastian politik di Jepang yang berimbas pada prospek kebijakan moneter Bank of Japan.
Para pelaku pasar dalam negeri cenderung mengambil sikap berhati-hati, sambil menunggu kepastian lebih lanjut dari rilis data-data ekonomi utama yang diharapkan memberikan kejelasan terhadap arah kebijakan moneter global dalam beberapa waktu ke depan.
Dengan ekspektasi bahwa The Fed akan kembali menurunkan suku bunga pada pertemuan berikutnya, serta perkembangan politik Jepang yang tetap menjadi perhatian, nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan terpengaruh oleh faktor eksternal ini.